Inikah kesempurnaan? Taken with SONY DSC W220 CyberShot Digital Camera | Photoscape creative editing |
mainkan simfoni, rasakan ironi
Seorang kepala polisi membeberkan beberapa foto-foto korban penganiayaan sadis, nampak. Yang paling kiri, satu matanya tercongkel dengan darah yang sudah membekas hitam. Disebelahnya seorang peremuan dengan jari lentik tapi salah satunya hilang terpotong. Foto ketiga, lelaki tua dengan sisa rambut pirang, dipenuhi darah. Tengkoraknya terlihat, putih, kulit kepalanya hilang. Yang kedua dari kanan, seorang gadis berumur lima tahun dengan kontur gigi rata, tapi bagian atasnya diambil paksa, mengerikan.
Ia hanya menggelengkan kepalanya melihat satu wanita cacat duduk di depan meja interogasi sambil terkekeh. Ia, Jessica Dalton, pembunuh satu keluarga, lima orang yang fotonya sedang dipandangi oleh polisi tersebut.
Wajah kirinya cacat, seperti bekas luka bakar. Tak jelas. Ia memandang polisi itu kosong tapi menyiratkan suatu dendam. Irisnya yang hitam pekat memancarkan ironi yang tak terkatakan.
Polisi itu bangkit dan mulai bertanya, “Untuk apa kau melakukan ini?” sambil mengayun-ayunkan kelima foto dan membuangnya tepat diatas meja interogasi.
“Mereka, haha,” katanya sembari terkekeh parau. “Mereka, mereka, keluargaku,” lanjutnya dengan tetap terkekeh.
“Kami tahu, lalu mengapa kau membunuh mereka?” tanya polisi itu sambil menyisir rambut dengan tangan, frustrasi.
Raut muka Jessica berubah resah, seperti ketakutan tetapi sambil terkekeh. Ia gila. “Mereka, aku tak membunuhnya aku menyayangi mereka,” teriaknya, keempat kuku jarinya Ia gigit, gemertak.
“Lalu, jika kau menyayangi mereka, kenapa kau lakukan ini pada mereka?” Ia menggebrak meja interogasi.
Suasana hening sesaat, Jessica mundur beberapa jengkal, sampai ia tertawa lirih, semakin keras dank eras. Tak ada gunanya memang, menginterogasi orang gila seperti dia. Tapi polisi berusaha mengorek satu titik temu dari motif pembunuhan ini, saksi kunci sekaligus tersangka hanya Jessica. Ia membunuh keluarganya sendiri, miris.
Waktu polisi menerima laporan ada suara gaduh di Oaks Street, beberapa menit kemudian mereka datang dengan revolver di tangan-tangan mereka. Disana mereka menemukan Jessica sedang menyayat-nyayat kulit kepala seseorang. Darah sudah menggenang di lantai dapur. Saat polisi datang Jessica tetap melanjutkan aksinya, tak perduli ia sekarang dikepung.
Jessica mengacungkan pisau daging ukuran besar yang ia pegang. “Jangan mendekat, atau ini akan mengoyak mata kalian satu-satu.”
Polisi tak mau ambil pusing, mereka melumpuhkan Jessica yang kalap itu dengan obat bius, tepat mengenai punggungnya. Menyadari hal itu, Jessica berbalik dan dengan cepat melempar pisau itu kearah segerombol polisi di depan kaca. Pisau itu melayang dan sempat menggores lengan kanan salah seorang polisi yang gagal menghindar, hingga akhirnya berhenti menancap dalam di kusen jendela.
Beberapa detik Jessica limbung, gopoh dan jatuh tengkurap menimpa tubuh wanita dengan iris biru yang hilang mata kirinya dicongkel Jessica sebelum polisi datang. Jessica pingsan beberapa jam hingga akhirnya bangun dengan tangan terikat di ruang interogasi. Ruang dengan lampu kuning lima watt yang bergoyang-goyang.
“Aku hanya ingin kesempurnaan, aku tak ingin selama cacat sedangkan mereka memiliki hal yang bisa dibanggakan,” ucap Jessica setelah beberapa saat tertunduk dengan kekehan lirih.
“Tapi dengan beginipun kau tidak akan memilikinya, coba nikmati hidupmu dengan apa yang ada pada dirimu. Bukannya murka dan mencari kesempurnaan yang salah seperti ini.”
Jessica bangkit, pandangannya sarat akan kemarahan. “Tahu apa kau tentang hidup, tahu apa kau tentang hidupku,” teriaknya lalu tangisnya pecah disela-sela kesunyian.
“Aku memang tak tahu apa arti hidup, aku juga sedang mencarinya. Yang aku tahu, hidupmu dan hidupku akan tetap seperti ini, takkan berubah tanpa usaha yang keras untuk merubahnya. Takdir itu ada.”
“Takdir, huh? Ini takdir?” intonasinya jelas, lantang, Ia menunjuk sebelah kiri mukanya yang lebih hitam dari kulit mukanya yang putih pucat.
Kepala polisi itu berbalik, ia menyadari sesungguhnya Jessica tak gila, ia hanya depresi karena tak bisa menerima keadaannya saat ini. Cacat karena kebakaran dua tahun lalu di apartemen milik saudarinya.
Untuk beberapa menit di dalam ruangan itu hening, hanya beberapa kekehan kecil yang bergaung bersama cicitan tikus beberapa kali memecah kebekuan. Lalu, sebuah benda keras menghantam kepala bagian kiri polisi itu hingga pingsan. Tergeletak dengan pelipis yang mengucurkan darah.
Ikatan tangan pada kursi yang diduduki Jessica lepas hingga ia bisa menghantamkan kursi besi itu ke muka polisi bertubuh gendut itu. Jessica melompat dari meja dan segera mencari pistol saku yang menggantung di pinggul kiri polisi tersebut.
“Inilah takdirmu, polisi bodoh.”
Pelatuk revolver itu ditarik Jessica lekas, tepat mengenai mata kanannya yang seketika itu hancur. Cipratan darah mengenai muka Jessica sedikit.
Jika aku tak mendapatkan kesempurnaan yang aku idamkan, pasti ada kesempurnaan di kehidupan yang lain. Katanya dalam batin. Gadis itu mengarahkan revolver berbercak darah itu kearah pelipis kanannya. Tangannya gemetar beberapa detik. Bimbang, tapi ia yakin atas pilihannya ini.
Dor. Desing senjata kedua kali terdengar, memecah sunyi sampai suara tubuh yang membentur sesautu yang keras muncul. Jessica mati diatas tangannya sendiri. Ia mati dalam keputus-asaan, dalam kesempurnaan yang tak pernah ia dapatkan wujudnya.
^ keliatan banget nggak pake soundcloudnya bwahahaha.
BalasHapusnah itu pesannya nyampe kan dek :D
Keren pak! bener2 kereennnn!!!
BalasHapustulisanmu yang tentang pembunuhan semuanya keren. Kau bakat nulis cerpen thriller teman.
oalah tadi pagi kamu nulis ini toh? makae tak ajak ke hi-tech ga mau -__-
bukan tadi pagi aku nulis artikel nak tentang amerika. ini barusan tak tulis sekitar jam dua-an tadi. :o
Hapussitu anak ya? bukannya situ udah tua?
BalasHapusah aku remaja bukan tua, situ aja yang merasa muda selalu, padahal udah tua
BalasHapusgila lu sob kerennn amat ceritanya mirp cerita di novel2 luar
BalasHapusalhamdulillah kalo ada punya anggapan seperti itu sob. emang karya thriller saya ini agak westernisasi
Hapusiih thriller. ngerii ><
BalasHapuscoba baca, sambil nyetel souncloudnya. itu lagu gloomy sunday kan suicide song
Hapus<<baca sambil nyetel soundcloud nya._.
BalasHapuskeren banget kak!
menurut kabar burung itu lagu GLOOMY SUNDAY adalah SUICIDE SONG
Hapusberarti bukan anak-anak lagi sekarang Kartika?
BalasHapusGenre thriller memang bakatmu bang :) Memang setiap hal yg menyinggung kematian punya arti sendiri dan bermakna dalam. Tampaknya mulai menggunakan backsound nih, lanjutkan! Pake backsound emang terkesan lebih wah pas baca :D eh eh, kali ini lagunya gak mengejutkanku ngahahaha :))
BalasHapusmaunya sih nggak ngejutin cuman nyeret masuk ke cerita pake lagu gloomy sunday
HapusWah, semoga gue gak jadi orang yang putus asa kayak si Jessica.. hiiii. Oh iya, kenapa gak panggil detektif Ujang aja untuk interogasi tuh orang? wkwkwk..
BalasHapusbwahaha jangan-jangan panggil detektid Ujang. Ntar nasibnya kek kepala polisi itu gmn? Terus yang ngisi sekuelnya Detektif Ujang di febstories siapa #plak :o
Hapusitu fotonya tinta merk swallow ya? :p
BalasHapuseit, salah kalo kata orang jawa itu namanya "Sumbo", bahasa Indonesianya sih pewarna makanan sih. Dan warna merah di tangan itu ga ilang-ilang sampe sekarang aaaaah :o
HapusEnak banget dengerin soundcloudnya sambil baca :)
BalasHapuslike this
LIKE THIS YO :) bwahahaha...
HapusSadis bgt. Saiko dia u.u
BalasHapussemoga tak ada org seperti dia di dunia nyata
em, under 17 kali ya bang._. otakku terkontaminasi._. psiko sekali._.
BalasHapuswah ternyata bisa juga yah lo bikin cerita misteri.... :)
BalasHapustadi mikirnya jessica ini nenek2, -dalam imajinasi saya gitu- haha, soalnya kalo pilem2 misteri nenek2 tuh perannya suka angker.
BalasHapusJessica psikopat ini ceritanya...
BalasHapusKesempurnaan itu bukan sesuatu yang "sempurna"
Keren daka... Westernisasinya dapet x)
keren. gua suka cerpen thriller kaya gini :D
BalasHapuskeren banget kak .. Ini dapet sendiri ? keren lahh .. :D
BalasHapusiisshh keren bang daka, aku ngebayangin yang mata kecongkel itu ngeri bangetlah._.
BalasHapusbang daka, bikin cerpen yg ttg psikopat dooong :3
di paragraf awal, pas baca bikin aku ngerutin dahi gara2 bayangin apa yang kamu ceritakan.
BalasHapusgaya penulisanmu ini mirip penulis luar deh daka. aku lupa siapa namanya (-_-")
pas SMA sering baca bukunya aku :3
kereen! aku sampe bisa ngerasain suasananya!
kesempurnaan yang semu
BalasHapusmantab.