In-di-go

Mereka ada diantara kita, mereka bukan bersembunyi, mereka ‘hidup’. Hanya terpaut satu dimensi tipis. Andai kalian tahu, apa yang kalian lihat sekilas dan yang kalian dengar sesekali itu hanya secuil kecil. Bahkan seujung kukupun terlalu besar.

Aku mendengar lebih daripada yang bisa kalian dengar; jeritan, tangisan, rintihan banyak suara parau dan pilu lain yang seringkali menyeruak masuk dalam gendang telingaku. Aku melihat lebih dari apa yang bisa kalian lihat; bukan seperti yang ada di film atau tayangan lain. Mereka sungguh lebih menyeramkan, lebih memilukan, lebih dan lebih lainnya. Andai kalian bisa melihatnya sepertiku, andai semua orang sepertiku. Aku tak ingin menakuti ataupun melebih-lebihkan ini semua.

Kalian pernah merasa jadi orang sepertiku? Merasa berbeda walau tak terlihat. Kalian pernah merasa jadi orang yang bisa melihat raut mereka yang sudah tak sempurna, mendengar jeritan yang tak bersumber. Kalian tahu rasanya menjadi manusia yang melihat apa yang seharusnya tidak dia lihat, atau mendengar apa yang seharusnya tak mau ia dengar. Aku seperti itu dan itu adalah bagian dari aku.

Jadi, ini sebuah keiistimewaan dari Tuhan, lalu apakah ini sebuah kebanggaan atau kutukan? Yang terpenting adalah aku masih menikmati menjadi seorang dengan ‘hadiah’ dari Tuhan. Indigo.

Anggaplah ini sebuah fiksi,

Mengisi cangkir lalu tumpah dijejali memori lain.

Ditulis dari cerita kawan; asli, difiksikan.

Dan, sungguh ini tak nyata—dalam pandanganmu.