Halo pembaca dan sahabat blogger semua, tarawih terakhir nih, rasanya miris ya ramadan udah pergi lagi, rasa-rasanya baru kemarin ramadan datang dan puasa serasa baru tiga hari, ya beginilah hidup ada yang datang dan ada pula yang pergi.
Ramadan, bagi seluruh umat Islam merupakan bulan penuh berkah dan penuh pengampunan. Semua umat Islam menyikapinya dengan bertadarus, melakukan ibadah-ibadah sunah, meningkatkan kekusyukan saat beribadah, bertarawih, beriktikaf di malam-malam terakhir bulan ramadan. Tetapi Ramadan kali ini adalah ramadan paling kelam yang pernah saya alami, saya sama sekali tidak memanfaatkan berkah dan ampunan di bulan ini. Perilaku saya sama saja seperti bulan-bulan sebelum ramadan, bahkan bulan ini lebih buruk.
Ramadan kali ini, ramadan yang paling tidak saya manfaatkan, mulai dari awal menginjak bulan ramadan saya tidak pernah mengikuti tadarus bersama seperti tahun-tahun lalu, saya lebih sering berkutat dengan buku-buku pelajaran dan novel-novel yang menumpuk di atas meja belajar. Saya juga lebih sering menghabiskan waktu luang di siang hari saat semua orang berlomba-lomba mengumpulkan pahala demi mendapatkan kemenangan di bulan ini, tetapi saya lebih intens memperhatikan check list tugas yang ditempel di depan cermin di kamar saya, saya lebih sering memegang pensil dan laptop daripada memperhatikan solat-solat sunah yang banyak saya tinggalkan. Tahun ini, saya juga lebih sering melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat seperti; tidur dari pagi sampai siang, merenung tanpa tujuan dan lebih berkonstrasi pada jadwal buber (buka bersama) yang kian padat. Solat tarawih juga seringkali saya tinggalkan kalau lagi ada jadwal buber atau kalo lagi banyak tugas. Padahal tarawih adalah ritual satu tahun yang jarang saya tinggalkan dulu. Memang buruk ramadan kali ini. Sebagai seorang remaja umur 16 tahun saya masih belum bisa memenejemen waktu dengan cukup baik.
Yang paling mengerikan adalah kemarin, beberapa hari yang lalu, tetangga saya, perempuan berumur 17 tahun meninggal karena penyakit hepatitis B. Nah momentum yang membuat miris adalah ia meninggal satu hari setelah hari ulang tahunnya yang ke-17. Sampai saat ini, rasa takut akan kematian masih menggantung di juntai memori saya. Saya takut jika besok saya sudah tidak bisa membuka mata, menghembuskan nafas, melempar senyum ke dunia yang sementara ini.
Jujur, saya takut akan kematian, bukan takut apa-apa. Saya takut jika saat ajal menjemput saya, saya belum siap dan mati bukan dalam keadaan khusnul khotimah. Saya takut amal ibadah saya selama ini belum mencukupi untuk bekal saya di hari perhitungan nanti. Saya hanya takut, takut akan kematian. Saya tidak akan pernah tahu berapa panjang umur yang sudah ditentukan Allah, yang saya harus lakukan adalah mempersiapkan bekal saya setelah melewati dunia fana ini. Tetapi pertanyaannya: “Sudah cukupkah bekal anda?” dan “Sudah siapkah anda?”
Kalau boleh menjawab dua pertanyaan diatas secara frontal dan blak-blak’an: BELUM, SAMA SEKALI BELUM. Saya hanya lelaki buta yang imannya naik turun dan seringkali lupa dataran. Hanya seonggok bunga layu yang merasa kelopaknya paling indah, padahal satu tiupan kecil angin sudah bisa merobohkan tiang-tiang penopang tubuh saya.
Nah sekarang, saya ingin bertanya kepada pembaca dan sahabat blogger semua:
“Sudahkah kalian siap menghadapi kematian dengan apa yang kalian bawa sekarang?”
Wallahualam.