BAGIAN 1: Mentari Saksi Misteri!
BAGIAN 2: Setengah Malaikat
BAGIAN 3: Kenangan Ajaib?
TENTANG FILOSOFI
Kebahagiaan menurutku adalah sesuatu yang
klise. Ironi memang jika suatu kebahagiaan itu dimaknai sebagai dua orang yang
saling membina rumah tangga dan niscaya hidup bahagia selamanya. Sungguh, aku
tidak percaya akan hal itu. Semua itu hanya ada pada cerita Cinderella dan Snow
White. Apakah kau tahu tentang kisah ulat, bunga dan lebah? Mereka semua dari
sudut pandang kebahagiaan terlihat sama-sama bahagia, bukan? Tidakkah kau
melihat tentang ulat yang selalu merasa terasing? Tentang lebah yang akan tetap
merasa paling berada? Tentang bunga yang selalu bungkam karena ia “ditakdirkan”
sebagai produsen dan pemberi makanan bagi konsumen-konsumen tingkat berikutnya?
Aku tak sedangkal itu memaknai hal-hal sepele seperti itu, aku menyukai hal-hal
yang terasingkan dari paradigma banyak orang. Aku memperhatikan.
Tentang ulat yang sejahtera hidup bersama
bunga? Tidak, sama sekali tidak, ulat adalah binatang yang selalu terpinggirkan
karena bentuk tubuhnya yang tidak disukai, mereka hidup hanya sebagai parasit,
memakan daun-daun tempat bunga menghasilkan makanan. Ia terus bernafas karena
menggerogoti ujung-ujung kehidupan mahkluk lain, bukankah pantas kalau ia hidup
selalu dibawah, sebagai yang terasing, sebagai benalu. Aku tidak sependapat,
karena aku percaya, Tuhan baik, Tuhan adalah hakim yang paling adil. Tuhan juga
berlaku seadil-adilnya pada kehidupan sang ulat. Ia tak selalu memberikan
kehidupan “taraf bawah” pada si ulat. Metamorfosa, ya metamorfosis hidup ulat
menjadi kupu-kupu dengan warna kerlap-kerlip, yang terpenting mereka bersayap.
Bersayap dan terbang. Kupu-kupu dengan bukan sebagai parasit dan dapat
disejajarkan dengan lebah, ia menghisap nektar, seperti lebah. Menyamai lebah.
Tetapi, karena hal itu kupu-kupu jadi memiliki sikap sombong, sombong karena
bisa lebih memiliki pesona dan tidak dianggap “penganggu” layaknya lebah. Ya,
Tuhan adalah hakim yang paling adil, memang, mungkin karena itu mengapa
kupu-kupu hanya hidup selama sebelas sampai dua belas hari. Adil.
Lalu lebah, yang dari awal sudah berada
diatas. Merasa berada diatas, membutuhkan nektar dari bunga-bunga yang ia
dekati. Hidup berkoloni dan menghidupkan esensi kebersamaan dalam hidupnya.
Tapi mengapa Tuhan menciptakan lebah? Tetapi mengapa Tuhan menginginkan lebah
hanya hidup sampai sengatnya mengenai kulit manusia dan setelah itu mati? Aku
sampai saat ini tak pernah tahu mengapa Tuhan menciptakan kehidupan?
Dan terakhir, tentang bunga dengan pesona
liuk-warna indahnya, menarik segala bentuk mahkluk penghisap mendekatinya.
Kumbang, kupu-kupu tak terkecuali seorang lebah. Tetapi, mengapa bunga terlihat
tidak bahagia ketika binatang-binantang lainnya datang mendekat? Ingin memakan
daun, nektar dan kelopaknya? Mungkin di titik inilah aku belajar akan
pengorbanan. Bunga melakukan itu semua karena ia ingin terus melanjutkan
spesiesnya. Bukankah kita semua pernah belajar tentang hal ini, biologi.
Penyerbukan? Dan karena hal inilah mengapa muncul adanya simbiosis, dari
mutualisme sampai parasitisme. Tuhan, aku belajar dari mahklukmu, dari ulat,
lebah dan bunga. Tentang usaha, kesombongan, perjuangan, pengorbanan dan saling
membutuhkan. Tapi aku masih tak mengerti akan kehidupan, kematian, kesendirian
dan keabadian? Mengapa hal-hal itu ada dan melekat dalam diriku?
***
Bayangan
malaikat kecilku sudah berdiri sejajar dan hampir tak terlihat karena tertutup
tubuhnya. Sudah tengah hari, tetapi masih bisa kulihat air mukanya masih tetap
melekat semangat. Dia memang gadis kecilku, anakku yang memarisi sifatku.
Tentang semangat dalam hidup, memerangi keabadian, sekali lagi keabadian.
Aku
menggulung koran kemarin yang belum sempat terbaca semua dan berdiri dari kursi
goyang yang lengan kananya sudah hilang dan terbengkalai. “Kate, semangat
sekali bermain, mari kemari, di dapur sudah tercium bau wafel dengan lelehan
madu hangat, kesukaanmu, bukan?”
Spontan ia
menghentikan kegiatan menumpuk-numpuk besi dan obeng yang ia lakukan sejak
tadi. “Baiklah, Ayah.”
Ia sudah enam belas tahun, berarti genap dua puluh
sembilan tahun semenjak istriku sebelumnya pergi. Wajah Kate tak pernah menua,
hanya perubahan sikap dan perilakunya bahwa ia akan beranjak menjadi wanita
dewasa. Bagiku, ia tetap gadis kecil yang rindu akan pangkuanku dan Ibunya.
Sembari berjalan ke arah dapur dengan Kate, di dalam
batinku bergejolak. Besok adalah ulang tahun Kate yang kenam belas dan akan
menjadi tahun ke enam belas aku menutupi keberadaanku yang sebenarnya, sebagai
manusia setengah malaikat dari Kate. Walaupun aku dan Miriam—Ibunya sekaligus
istriku saat ini—sudah tahu bahwa aku bukanlah manusia biasa, tetapi kami
memiliki perjanjian bahwa tidak akan memberitahukan hal ini kepada Kate sebelum
ia benar-benar siap. Mungkin saat ini, adalah dimana anakku sudah dapat
dikatakan siap mendengar kenyataan pahit ayahnya.
Kate dengan lincah meloncat ke arah oven yang
mengeluarkan bau harum dan gurih wafel. Mengeluarkannya dan meletakkan pada
sebuah piring kecil khusus bertuliskan “Daddy” dan “Kate”. Kate membuatnya
sendiri dengan cat saat umurnya menginjak lima belas.
“Ayah, duduklah, kau sudah tidak pantas lagi
menyiapkan hal-hal seperti ini. Kau sudah terlalu tua,” ejeknya sambil
menyiramkan dua sendok madu kuning bening diatas wafelku dan miliknya.
“Jangan mengejek, ayahmu ini masih kuat, bukankah
terbukti bahwa ayah bisa membesarkanmu sampai umurmu akan menjadi enam belas
esok hari, Kate?” tukasku sebagai pembelaan.
Tangannya mengepal diletakkan di depan kepalanya,
untuk penyangga dagunya dan menjawab, “Kau salah ayah,” sanggahnya lagi dengan
tangan yang digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri. “Kau tidak sendirian Ayah,
ingatkan Ibu adalah satu-satunya orang yang kau cintai dan penguat dalam
hidupmu saat ini?”
Deg!
Jantungkua berhenti berdetak beberapa detik.
Ucapannya meruntuhkan keyakinanku untuk berkata jujur tentang identitasku
kepadanya. Tentang seseorang yang sangat kucintai? Bukan Miriam sayangnya.
Hanya Claire, akan hanya Claire yang menjadi seseorang itu, takkan bisa
terganti. Tapi mereka—Miriam dan Kate—tak tahu satu hal pun mengenai Claire,
istriku sebelumnya. Aku tak bisa mengatakannya, terlebih mengatakan bahwa aku
tidak bisa menggantikan posisi Claire di dalam hatiku kepada Miriam. Sungguh,
bukannya tidak bisa, hanya belum bisa.
“Ayah? Mengapa kau melamun seperti itu?” tanyanya
dengan satu tangannya mengguncang-guncang meja yang membuat tubuhku ikut
terguncang juga.
“Ah—uh, tidak.”
Mulutnya mengerucut, lalu menggungam seadanya. Aku
tak bisa mendengar perkataannya—lebih tepatnya gumamannya. Raut muka anakku
agak kesal, mungkin karena aku tak memperhatikannya ketika berbicara, aku tahu
Kate membenci hal itu.
“Kate, kau tadi bicara apa, Ayah tidak sedang
berminat di dalam dialog ini.”
Wajahnya makin cemberut. “Ba-ga-i-ma-na de-ngan
a-ca-ra u-lang ta-hun-ku be-sok A-yah?” jawabnya dengan mengeja di setiap suku
katanya.
“Soal itu, baiklah. Kau mau bagaiamana? Pesta kebun,
Side-pool party, barbeque party, atau
acara prasmanan dengan kau yang mendekor tata ruangnya sendiri, itu bukan hal
yang sulit bagi ayah, terlebih untukmu, malaikat kecilku,” kataku sambil
menyentil hidungnya yang bulat kecil.
“Kau sama sekali tidak bisa menebak pikiranku Ayah. Aku tak menginginkan pesta yang terlalu
menghamburkan uang seperti itu. Tahukah Ayah, aku menginginkan kebersamaan dari
kita bertiga. Hal yang sangat jarang ada di rumah sebesar ini. Apakah kau sadar
akan hal itu?”
Aku diam, tak berani menjawabnya. Hanya berani
menerkanya dalam hati, tapi memang benar,
hal itu hampir tidak bisa kita jumpai setiap waktu. Sebulan, setahun sekali
mungkin. Miriam adalah enterprenuer sejati, ia tak mau membebaniku. Ia sibuk
dengan busana-busana dan event-event modelingnya. Kemarin, saat kutelepon, ia
sedang di Paris dengan busana yang mau ia pamerkan perdana ke muka publik
disana. Apakah ia lupa tentang Kate? Tentang hari ulang tahunnya?
“Ayah?” tanyanya menyakinkan.
“Uh-ya?” jawabku kelabakan karena terlalu berkutat
dengan gejolak pikiranku sendiri.
“Apakah kau sadar hal itu sangat sangat jarang
terjadi?”
Aku menunduk, entah malu atau perasaan apa yang
kurasakan saat ini. “Kau benar, anakku.
Meskipun aku dan Ibumu bekerja dalam satu bidang yang sama: seni. Tapi
kami berbeda, untuk ukuran pelukis impresionis seperti ayah, ayah hanya butuh
satu ruangan ukuran tiga perempat diatas balkon untuk melukis. Tidak seperti
Ibumu dengan busana-busana rancangannya, ia harus berkeliling kota bahkan
negara untuk membuatnya melejit. Ini hanya permasalahan jarak, anakku tidak
lebih. Lalu pesta seperti apa yang benar-benar kau inginkan untuk besok?”
Matanya berputar beberapa kali sebelum Kate
benar-benar menjawab pertanyaanku. “Pesta dengan hanya ada aku, Ayah dan Ibu.
Lalu kita bernyanyi lagu ulang tahun bersama, memakan kue ulang tahun mungil
yang kubuat sendiri dan menonton DVD acara-acara lawas yang sangat Ibu sukai.
Dan yang terpenting, kita semua bahagia, Ayah.”
Mulia, kau
sungguh mulia, anakku. Permintaanmu akan selalu kuwujudkan, ingatlah itu.
Walaupun permintaanmu kali ini hampir tidak mungkin, sebisa mungkin aku akan
menjadikannya nyata. Kau tetap anakku, walaupun aku tak pernah mencintai
Miriam, walaupun aku masih menyembunyikan identitasku sebagai manusia setengah
malaikat, dan walaupun aku tidak bisa menggantikan Claire di hatiku. Kau tetap
akan jadi anakku saat ini, seperti itulah pikiranku berbicara tetapi tidak
seperti bibirku yang beku di depan Kate.
“Baiklah, Kate. Ayah akan berusaha mewujudkan permintaan
di hari ulang tahunmu itu.” Hanya itu yang bisa kukatakan, selebihnya muntahan
kata-kata dari otakku tercecer entah kemana.
Kate mengangguk gembira, garpu di tangannya
memotong-motong wafel yang masih belum kusentuh sedikitpun. Hal itu membuat air
mataku tak bisa menetap di kelopaknya. Di mata kiriku yang jatuh lebih awal.
Walaupun tak terisak, tapi Kate bisa merasakan guncangan itu, guncangan
batinku.
“Ayah? Mengapa kau menangis?” tanyanya, seketika itu
juga raut muka bahagianya terganti oleh desir-desir kekhawatiran yang hinggap
disana.
Air mataku berhenti sejenak untuk mengatakan sesuatu
pada Kate, “Kemarilah, anakku.”
Kate mendekat, kekhawatiran di wajahnya masih belum
sepenuhnya hilang. “Ada apa Ayah?” tanyanya, suaranya terdengar bergetar dan
terbata.
Sampai pada jarak yang tanganku bisa menjangkau, aku
memeluknya erat. Sangat erat. Aku bisa merasakan hangat tubuh anakku. Di saat
inilah aku benar ingin menghentikan waktu, tidak bergerak maju atau mundur,
mengatakan kejujuran atau tetap bergumul dengan kobohongan. Kate mencengkeram
kemeja abu-abu polos yang kupakai cukup keras. Aku bisa merasakan emosinya saat
ini.
“Kate ... apa kau tahu tentang kematian? Kau tahu
kalau semua mahkluk di dunia ini akan mati?” tanyaku lembut sembari tanganku
membelai rambutnya yang keriting menggantung.
Kepalanya yang tenggelam di pundakku kini terangkat
dan ia menangis sejak tadi. “I—ya Ayah
... aku tahu akan hal itu. Tetapi kemana arah pembicaraan ini?”
“Dengarkan aku, Ibumu, kau dan semua manusia di
dunia ini akan mati karena usia, benar bukan. Tetapi aku berbeda dengan kalian,
aku tidak akan seperti kalian, mati karena usia.”
“Apa maksud Ayah?”
“Maksudku, aku hidup dalam keabadiaan, Kate. Aku
bukan manusia biasa seperti kau dan Miriam. Aku adalah manusia setengah
malaikat. Kami semua terkutuk karena keabadian kami. Aku tak bisa mati sebelum
benar-benar ada peluru perak yang menembus otakku ini. Aku tidak akan pernah
bisa mati.”
“Apa?” teriaknya. Disana kulihat ketidakpercayaan
bercampur dengan tangis yang memuncak.
Kate terus menggelengkan kepala sambil menutupi
mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Sepertinya ia tak memercayaiku. Kate
beberapa kali mundur dari area yang ia pijak tadi. Lalu berlari, membanting
pintu dapur dengan sangat keras. Langkah kakinya yang berdegum di lantai kayu
rumah ini semakin jauh semakin samar, hingga hilang.
Maafkan aku
Miriam, aku telah jujur kepada Kate.
Tuhan, tahukah
kau? Aku sudah memilih, hidup dalam kejujuran walau aku tahu akhirnya akan
seperti ini, tetapi setidaknya aku tidak berdosa lagi. Terlebih setelah Kau
mengajarkan mengenai filosofi ulat, lebah dan bunga kepadaku. Maafkan aku,
Kate. Dan, terima kasih Tuhan.
kebahagiaan adalah sebuah perjalanan hidup yang dapat memberi arti bagi seseorang
BalasHapusWah belum baca yg sbelumnya nih, dari sudut pandang ayahnya, menarik.. :)
BalasHapusmembaca postingan Basith dan membaca ini..komentarku sama..bagaimana kalian berdua memiliki otak dan hati utk bisa merangkai kata sebegitu indahnya?
BalasHapusKebahagiaan juga yang membuat orang untuk semangat menjalani hari-hari yang suram :D
BalasHapussek dak yo. tak mudengno maneh
BalasHapusgw suka banget uraian filosofi diatas cerdaaaas =)
BalasHapusSiap melanjutkan abang, waktu itu lupa komeng XD
BalasHapuspembukaannya...waoooww keren
BalasHapuskunjungan sob ..
BalasHapusbagi" kalimat motivasi sob ..
hanya terdapat tiga warna,sepuluh bilangan, dan tujuh not;hal yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkannya.
di tunggu kunjungan balik nya sob .. :)