Kemana kau pergi saat hatimu membiru?
Kemana kau pergi saat dirimu kesepian?
Aku akan turut serta
Saat bintang-bintang membiru
--Ryan Adams, dalam novel Lisey's Story, Stephen King
Pintu di dalam ruang baca sudah mencapai titik terkuatnya, kini patah dan bagian atas sudah tidak pada engselnya. Mereka masih tak bergeming dari depan pintu, lalu seseorang melangkah kedepan samar karena bias cahaya yang menyeruak masuk.
“Suster
Kepala!” teriak Lusy yang lebih dulu membuka matanya untuk memastikan.
Ia
mengangguk. “Iya, Lusy ini aku, hari sudah petang tetapi kau dan Mady masih
saja disini. Semua di ruang makan sudah menunggu kalian.” Suster Kepala meraih
tangan Lusy dan menggandengnya keluar dari ruang baca.
Mengunci
pintu. Klik.
Mady
mendongak dan bertanya pada Suster Kepala, “Kau mau kemana Suster? Bukankah
jalan menuju ruang makan lewat sini?” Ia menunjuk ke arah yang berlainan.
“Aku
akan menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu, kemudian aku akan menyusul,
Mady.”
“Baiklah,”
jawab Mady datar, ia masih belum bisa menerima perlakuan Suster Kepala yang
bertolak belakang pagi tadi kepada Lusy. Anehnya, Suster Kepala berperilaku
seperti tidak terjadi apapun.
Ah sudahlah, percuma mencapuri urusannya
saat ini, perutku lebih membutuhkan perhatian daripada Suster Kepala, fikirnya.
Diary Clara masih ada di dalam buku-buku jemarinya, digenggam erat. “Apakah kau
berfikir, ia aneh, Lusy?” tanya Mady dalam perjalanan menuju ruang makan.
Dahinya
mengernyit, masih bingung dengan arah pertanyaan Mady, “Ia siapa? Aneh?” Lusy
balik bertanya.
“Suster
Kepala. Apa kau tidak merasa aneh dengan sikapnya?”
“Aneh?
Dimana letak keanehannya, Mady?”
“Tidakkah
mau melihat, ia tak seperti biasanya. Suster Kepala lebih tidak perduli dengan
sekitar, ia lebih tak acuh dengan semuanya. Coba lihat, ia sama sekali tidak
perhatian dengan kita yang hilang sepanjang hari. Biasanya, ia yang selalu
paling khawatir ketika salah-satu dari kita—anak asuh Santa Mondega—menghilang
beberapa jam? Ya, kan?”
Lusy
mengangguk dua kali, jarinya diletakkan didepan bibir, diketuk-ketuk bibir
kemerahan miliknya dan menjawab lirih, “Iya, aku baru sadar Mady, setelah kau
memberitahuku ini.”
“Ah
sudahlah, dasar kau yang tidak perhatian dengan sekitarmu saja, Lusy. Jangan
bicarakan hal ini di ruang makan, aku tak mau semua orang ikut terlibat di
jigsaw kita dan diary Clara, oke?”
“Laksanakan,
Komandan,” ledeknya dengan satu tangan kirinya diangkat sejajar dengan kepala
seperti berhormat.
Suara
besi berhantaman semakin terdengar jelas ketika mereka berjalan mendekat ke
arah ruang makan. Semua sudah mulai makan, mereka terlambat. Tapi para suster
belum mulai makan, mereka masih berdoa. Dua kursi dari meja makan sudut kiri
kosong, kursi itu untuk mereka.
“Suster,
apakah ini tempat duduk kami?” tanya Lusy dengan sopan kepada salah satu
suster.
“Benar,
kami sudah menunggu kalian berdua sejak tadi, kami belum mau makan sebelum
semuanya lengkap,” timpalnya.
Lusy
menarik ke belakang kursi kayunya dan berdecit. Dari piringnya ada dua tumpuk
daging asap yang di potong memanjang dengan mayonaise diatasnya berbentuk
zigzag. Bubur kentang berwarna kuning keputihan dengan parsley yang dicincang
kasar menjadi lauk utama makan malam kali ini.
Masih
terasa hangat.
Di keadaan
seperti ini, Santa Mondega terasa menghangatkan dan tentram. Santa Mondega yang
dulu pernah menghiasi hari bahagia mereka.
Emosi
dalam hati Lusy seperti tak bisa dibendung lagi, ia rindu, teramat rindu dengan
kehangatan ini. Santa Mondega. Tangan kirinya yang tidak memegang sendok
menggenggam diary Clara erat-erat. Ia tak bisa menangis, tangisannya ia
tumpahkan pada erat genggamannya di diary itu.
“Sudahlah,
aku tahu perasaanmu, Lusy.”
Lusy
menengok ke sebelah kanannya, Mady mencoba menenangkan kawannya yang mulai
terbawa suasana. “Ini tak akan ada lagi, jika kita menyerah dan berhenti pada
misteri diary ini, semua ini akan hilang, selamanya,” intonasi bicara Mady
datar tapi terdengar sangat mengancam.
Lusy
tahu, itu bukan ancaman, itu motivasi untuk segera menyelesaikan misteri ini,
misteri Clara Harrington dan Santa Mondega dua puluh tahun lalu.
Sampai
pada suapan terakhir Lusy, semua orang sudah beranjak dari kursinya
masing-masing dan melanjutkan kegiatan mereka. Tak berbeda dengan Mady yang
sudah bersiap mencuci piringnya dan pergi ke kamarnya untuk tidur.
“Lusy,
apa kau ingin tetap disini sepanjang malam?” tanyanya perlahan.
Lusy
tak menjawab, hanya memberikan insyarat batin yang Mady harus tahu maksudnya,
ia ingin sendirian malam ini. Entah disini atau dimana pun yang membuat yang
membuat perasaannya terasa sedikit lega. Diary itu masih tidak berubah
tempatnya saat pertama Mady meletakkan di meja makan. Tak ia buka, hanya ia
genggam erat.
Apa yang salah dengan rumahku akhir-akhir
ini, apakah semua berubah karena diary ini, apakah karena Clara? Bagaimana pun
caranya aku sudah terlalu dalam berkecimpung dengan misteri ini, menghadapi
masalah ini tanpa harus mundur, aku harus memperbaiki Santa Mondega, sekuat ku
mampu. Aku pasti bisa, harus. Lusy memotivasi dirinya sendiri dengan baik,
tapi perasaannya tidak lebih baik dari saat jamuan makan dimulai. Tetap pilu.
Sepiring
bubur kentang dan dua potong daging asap di piringnya tinggal setengah, setengahnya
sudah masuk untuk mengisi lambungnya yang mengeluarkan banyak asam karena tak
ada suplai makanan yang masuk.
Ini
sudah terlalu malam untuk Lusy terus termenung di meja makan, jika salah satu
suster menemukannya masih di sini, ia akan kena masalah. Tak berpikir panjang,
pikir, Lusy meninggalkan piring dengan bercak bubur kentang di sana sini di
atas meja dan membawa pergi diary Clara keluar meja makan dan menuju kamarnya.
“Kau
tidak bisa semena-mena memberikan diary itu kepada anak ingusan itu. Bukankah
kau sudah berjanji tidak akan menyebarluaskan aib kita kepada anak-anak,
tentang kejadian dua puluh tahun lalu?”
Suara
itu keluar dari ruangan Suster Kepala tapi tak terdengar seperti suaranya. Itu
lebih terdengar mirip suara Suster Daisy.
“Pelankan
suaramu, kau tidak akan mau kan jika salah satu anak mendengar percakapan
kita.”
Lusy
berhenti tepat di depan pintu kayu jati dengan ukiran ala Inggris tahun tujuh
puluhan dan menempelkan telinganya agar bisa mendengar percakapan mereka lebih
detail.
Suara
mereka terdengar lebih lembut sekarang, meskipun gemetaran seperti
menyembunyikan sesuatu. “Tetapi, tidak akan bisa selamanya kita menutupi
rahasia ini, tentang Santa Mondega, tentang bulan purnama dan prosesinya.
Tentang Clara dan diary-nya yang akan membawa kematian atas kaum kita.”
Percakapan
itu cukup jelas masuk ke dalam telinga kanan Lusy yang menempel di pintu. Ia
tak seberapa mengerti, tapi yang ia tahu pasti, hal itu akan menjadi sebuah
petunjuk besar dan akan dapat membantunya menyelesaikan misteri Clara ini.
Dua
puluh menit sejak pertama Lusy menguping pembicaraan mereka berdua dan dua
puluh menit juga ia seringkali tidak bisa mencerna arah pembicaraan mereka.
Tentang persembahan, sukarelawan, dan bulan purnama di pertengahan April.
Hal-hal yang masih terasa asing di kepala Lusy.
BUK!
Tangan
kanannya menjatuhkan diary itu tidak sengaja. Bunyinya cukup keras dan mungkin
satu koridor lantai dua ini akan dapat mendengarnya.
“Siapa
itu?” teriak suara dari dalam ruangan, suara Suster Daisy.
Lusy
berjongkok dan mengambil bukunya, mundur beberapa langkah dari tempatnya tadi
menguping. Kecemasan tak bisa disembunyikan dari wajahnya yang mulai memucat.
Langkah
kaki berdentum menggema di depan pintu. “Siapa itu? Jawab aku!” kali ini suara
Suster Maidy intonasinya meninggi.
Lusy
tahu apa yang harus ia lakukan hanya lari, lari dari sana dan berpura-pura tak
pernah mendengar semuanya. Karena itu bukan sebuah petunjuk bagi dirinya,
terutama bagi misteri ini. Hanya pecahan fragmen yang belum tahu harus ia susun
mulai dari mana.
***
Sepanjang
malam hujan gerimis menyelimuti lembah Ben Hill, beberapa kali auman serigala
terdengar meramaikan malam dari luar Santa Mondega. Dingin yang menusuk tulang
memaksa kedua mata dan otaknya terjaga di tengah malam lewat seperti ini. Di
dada Lusy diary Clara tak pernah berpindah. Ia tak membacanya, hanya
meletakkannya disana untuk sekedar menenangkan perasaan dan otaknya yang
terbakar. Mungkin berasap sekarang.
Aku tak bisa selamanya berhenti di bagian
ini, lalu bagaimana aku bisa menyelesaikannya lebih cepat kalau membacanya pun
aku enggan? Lusy, bodoh! Idiot!
Lusy
membenahi duduknya diatas ranjang, kemudian meletakkan diary itu diantara paha
kiri dan kanannya. Dibukanya perlahan sampai tepat pada halaman ke sebelas
dengan lipatan kecil diatasnya sebagai pembatas. Dan, ia mulai membaca.
LIMA:
LALU, TENTANG PERSEMBAHAN DAN BULAN PURNAMA
Hujan tak pernah habis di pertengahan perempat tahun seperti ini, terlebih Ben Hill berbeda dengan rumah mendiang orang tuaku dulu. Ternyata lebih dingin dari kebanyakan daerah di sini. Ini tak seberapa larut, tapi kakiku tak pernah mau keluar dari kaus kaki dan sarung tangan yang menempel terus di tangan. Beberapa hari yang lalu, Jessica bercerita tentang kegiatan aneh di Santa Mondega.
Apa itu?
Jessica dan aku tak pernah bisa mengetahuinya, katanya, ia dulu mendengar dari desas-desus anak lain di Santa Mondega. Tentang Suster-suster disini, tentang apa yang mereka lakukan tiap malam bulan purnama. Kadang aku memaknainya hanya sebatas guyonan dan penanaman cerita horor batas balita. Manusia serigala yang muncul ketika malam bulan purnama tiba. Lucu.
Tetapi, kemarin, aku benar-benar tak bisa menganggap ini semua remeh atau guyonan. Aku dan Jessica menemukan koridor rahasia di dalam ruang baca. Tepat di koridor nomor tiga belas, bilik dua puluh tiga. Tepat disana, di rak nomor dua dari bawah ada satu bata yang bisa ditekan untuk membuka jalan masuk ke dalam satu ruangan. Ruang dimana banyak peralatan yang tidak akan kau temukan di Santa Mondega. Ruang mengerikan.
Apakah aku terlalu cepat bercerita? Mungkin tidak, ruangan itu penuh dengan kengerian, mulai dari langit-langit bersarang laba-laba dan satu set pisau dari yang kecil sampai yang sebesar gada tertata rapi di sudut ruangan. Ruangan dengan lebar lima kali lima meter ini memiliki satu meja, meja dengan bercak-bercak merah—mungkin darah—yang belum hilang bau anyirnya. Bercak itu sudah kering dan menghitam. Tetapi noda kekuatiran masih sangat terlihat disana.
Sempat aku berfikir, tempat apakah ini? Ataukah ruangan rahasia yang aku dan Jessica adalah penemunya? Ataukah tempat lain yang sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak internal Santa Mondega? Tapi siapa? Para Suster, hal biadab seperti ini dilakukan oleh suster-suster Santa Mondega? Itu hal yang tidak pernah mungkin terjadi, hanya setan yang tega melakukan hal ini.
Aku dan Jessica berjanji, tak akan memberitahu siapapun, sampai ada salah satu dari kita yang berkhianat dan mengumumkan kepada semua orang bahwa kami menemukan satu ruang rahasia. Aku percaya pada Jessica, ia tak akan membuka mulut. Aku pun sama.
Jika suatu saat ada seseorang yang membaca diary-ku sampai bagian ini, aku harap ia bisa menemukan takdir yang sama denganku. Tentang misteri Santa Mondega, bulan purnama serta ruang rahasia yang dimilikinya.
Tapi tunggu, ini belum selesai ...
BRAK!
Suara
itu menggema dari luar hingga dapat ditangkap telinga Lusy. Hampir ia
melemparkan buku itu ke belakang karena kaget. Di dalam buku itu, tepat setelah
kalimat “Tapi tunggu, ini belum selesai,” ada satu bagian yang tidak dapat
dibaca Lusy. Bagian yang dihitamkan secara ugal-ugalan. Satu kalimat.. “Ini
akan berlanjut,” selebihnya, matanya tak dapat mencerta coretan-coretan tidak
jelas di dalam diary Clara.
Diary ini, persetan!
Berkali-kali
Lusy mengumpat dalam pejam matanya. Potongan fragmen Clara yang sampai saat ini
belum ia pecahkan masih mengambang di ruang imajinya. Sungguh, ini memusingkan.
bagus......
BalasHapusdi cerita ini ngga terlalu menegangkan ya, tapi ceritanya makin mengalir.. ada sedikit titik terang ruang rahasia itu dengan kunci batubatanya, kayaknya lusy dan mady harus segera kesana biar ngga makin larut, gw kurang paham yang masalah ritual bulan purnama itu deh..
BalasHapusceritanya makin cair bahasanya, bagus banget daka :)
BalasHapus"BRAK!...
BalasHapusSuara itu menggema dari luar hingga mampu ditangkap telinga Lusy"
waw, ceritanya bagus daka, emosinya dapet tapi nggak berlebihan, menegangkan. Two Thumbs deh buat daka!
Suster-susternya jelmaan setan ya? Mencurigakan...
BalasHapusdaka, tau ga?
BalasHapuscuman lu sama feby aja yang bikin gue tahan baca cerita di blog.. cerita lu sama akang feby emang bagus2.... gue selalu tunggu kelanjutannya.. hehehe. apalagi yang serie gadis dalam cermin... ^^
kunjungan gan.,.
BalasHapusbagi" motivasi.,.
Kita di nilai dari apa yang kita selesaikan bukan dari apa yang kita mulai,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
kunjungan gan.,.
BalasHapusbagi" motivasi.,.
Kita di nilai dari apa yang kita selesaikan bukan dari apa yang kita mulai,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
aduuuh, aku makin deg degan bacanya.. masih diluar perkiraan sih jalan ceritanya... tapi aku udah ngerti dikit.. kereen bang daka :D
BalasHapusluar biasa
BalasHapusberharap kunjungan nanti menemukan lanjutannya ^_^
Ni kapan dilanjut?
BalasHapus