Bunga kertas, satu hal yang tak bisa sirna ketika teras rumahmu muncul diantara sesak tulisanku. Dulu, tujuh belas tahun yang lalu, pemandangan itu tak akan bisa hilang dari sana, dari teras rumahmu. Ingatkah kamu, dua kursi rotan yang tertata berhadap-hadapan? Satu tempat dimana kita ada dengan novel-novel yang selalu kita perdebatkan. Lalu rumahmu, dengan gaya tudornya, memang cukup aneh untuk ukuran rumah orang Indonesia. Gaya yang terlalu kebaratan.
Sore
di akhir Januari, aku bersepeda waktu itu, melihat kau duduk membelakangi
semak-semak tempatku sering mengintip. Apa yang sedang kau lakukan? Pikirku.
“Vidia,”
teriakku, cukup untuk mengusik dua kepik yang sedang bercinta di gulungan daun
bunga kertas.
“Aku
ingin berhenti di sini, berhenti di kamu, di kenangan ini,” katamu.
“Untuk
apa? Hidup tidak akan selamanya ada di satu fase yang sama, bukan?” sanggahku.
“Ya
aku tahu, tetapi setidaknya berikanlah aku waktu untuk tetap berada di masa
ini, sebentar saja. Mungkin untuk beberapa menit, sebelum semuanya berubah,
Rio.”
Aku
tak mau menjawab, hanya sekedar ingin membuatmu berfikir lebih dewasa. Atau
mungkin, untuk membiarkanmu berada di titik ini, sebentar saja, seperti katamu.
Vidia. Dua menit berikutnya, kau masih sibuk dengan rangkaian bunga kertas di
tangan kirimu.
“But, life must go on, right?” Ya, kau benar, sangat benar, Vidia.
Aku
diam, tak pernah berani mengungkapkannya, hanya membiarkan itu semua terpendam
dalam-dalam. Sampai pada suatu ketika.
Meningitis,
radang selaput pelindung syaraf pusat. Beberapa mikroorganisme seperti virus
atau bakteri adalah penyebab sakitmu dua tahun terakhir, bukan? Aku tahu, tapi
ini sudah terlalu terlambat. Ini sudah lima belas tahun, tepatnya tujuh belas
tahun setelah kematianmu.
Aku
tahu aku seperti orang bodoh duduk termangu di beranda rumahmu. Tepat hari ini,
Bu Sastro, ibumu pergi dan merundungkan pilu lagi di langit-langit rumahmu.
Belum genap enam bulan lalu, Pak Sastro lebih dulu pergi. Aku tahu, ini sebuah
takdir, benar?
But, life must go on, right ...
Tujuh
belas tahun, kata-kata itu masih terselip di beberapa proyek-proyek novel yang berusaha kubangun. Itu mengganggu, tapi aku mencintai kalimat itu.
Dan
mungkin, semua kesalahanku. Aku terlalu banyak memberikanmu menit untuk
berandai, berhenti pada satu fase. Aku terlambat untuk mengetahui kode itu,
sebuah tanda darimu bahwa semuanya akan segera berakhir. Seperti saat ini,
berada di teras ini. Membiarkan sebuah lembaran kenangan berwarna sepia
terputar berkali-kali di otak. Sebuah intermezzo, Vidia.
Maafkan
aku. Untuk rangkaian bunga kertas yang tak pernah bisa kupakai dan beberapa
novel yang kupinjam belum sempat kukembalikan. Tuhan lebih menyayangimu
daripada aku, mungkin.
But, life must go on, right? Life must go
on, Vidia.
Sebuah kenangan masa lalu yang terselip penyesalan...
BalasHapusaku suka ceritanya, sederhana.Dan bisa membawaku berimajinasi menjadi si "AKU", merasakan menjadi "AKU"
BalasHapuslife must go on, right? No doubt!
:)
yah hidup harus tetap berjalan.
BalasHapusdan lagi hidup memang keras yah kan sobat daka :D
stop ngebully okey -_- hahaha XD
Hapusbeh, q suka ceritanya
BalasHapusnice story, ^^
BalasHapusmeningitis? keren mas ceritanya, tapi penyakitnya bikin merinding hihi :D
BalasHapusbagus banget cara bermain katanya di tambah dengan cerita yg menyentuh.. salut deh :)
BalasHapushuweeee... ko sedih yaa.. suka prosa juga ya? mohon kritik nd sarannya ya buat prosaku... follow nd komen yaaa.. sankyuuu...
BalasHapusWah kren, meningitis telah merubah semuanya.. :)
BalasHapuskeren kaaa :o sederhana ~ tp dalem :D
BalasHapusTentang hidup dan mati. Lalu siapa yang peduli? Aku! Ya, aku yang merasakan derita itu. :P
BalasHapusdek kamu pake KBBI ? keren diksi nya kaya banget ---> saya IRI :)
BalasHapusyeah life must go on
BalasHapuskeren yah, ^_^
BalasHapuskunjungan gan.,.
BalasHapusbagi" motivasi.,.
hilangkan rasa gengsi mu untuk maju lebih baik.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
Kunjugan Perdana sobat..
BalasHapuskeren artikelnya.. jangan lupa kunjungan baliknya yaa :D
Motor matic injeksi irit harga murah