![]() |
"Hands" | Taken with EOS CANON 550D | Photoshop Editing |
“Aku
yang menanamnya, Ayah. Jadi biarkan aku merawat pohon kecil ini, selamanya,”
aku selalu mendengar suara seorang gadis mengucapkan kalimat itu dengan
intonasi yang sama.
“Tetapi
kau tak bisa membiarkannya tumbuh dalam polibag saja, nak. Kau harus bisa
membiarkan apelmu bebas,” seorang dengan suara lebih berat selalu menyambungnya
dengan intonasi yang sama juga.
Aku
tersiksa, aku terpenjara. Aku apel, tahukah kalian, kodratku bukan di dalam
sebuah pot atau polibag. Aku pun iri melihat sekawanku di perkebunan seberang. Mereka
berjejer, berderet dan tumbuh tegap menembus kerak bumi. Tetapi aku, hidup
disini, tak bisa hidup sendiri. Menggantungkan diri pada seorang gadis kecil
yang lambat laun akan melupakanku ketika ia dewasa. Dan aku, hanya akan mati
dimakan usia karena terlupakan.
Sekali
lagi, perkenalkan, aku apel. Aku ingin menjadi apel besar dan bisa disantap di
malam perjamuan raja. Bukan tumbuh bak kurcaci dengan buah yang hijau-hijau. Aku
apel, apakah seorang apel tak bisa diberikan kesempatan kedua untuk memulai
hidup lagi, maksudku, bukan sebagai apel. Sebagai gadis itu mungkin?
Apakah
apel tak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Aku ingin tahu, apakah sekumpulan
pohon apel disana, di perkebunan depan, apakah mereka bahagia? Apakah malah
mereka lebih tersiksa dariku? Terkutuk! Karena aku adalah apel. Aku hanya bisa
tumbuh disini, di dalam sebuah polibag rapuh.
“Ayah,
lihat ia berbuah,” pekikan itu terdengar di suatu pagi.
“Kau
berhasil, anakku. Kau membuatnya berbuah
walau ia hanya hidup dalam polibag.”
Menyeringai
tulus, itu yang aku bisa lihat dari air muka perawatku. Manusia-manusia di
dalam rumah mungil seberang perkebunan. Kini aku berbuah, merah, tak sebegitu
besar, tapi setidaknya dengan adanya buah ini aku bisa melihat senyum mereka,
lagi.
“Dan
akhirnya, senyumnya kembali, apel.” pada suatu malam, sang Ayah bercerita
sendiri di depanku.
Aku berhasil,
pohon apel kecil berbuah sedang berhasil membuat gadis itu kembali tersenyum. Mengembalikan
semangatnya setelah hancur berkeping-keping setelah kejadian malam tanggal tiga
belas. Perempuan pemilik kebun apel di seberang terbunuh karena kecelakaan
kerja. Kini ia kembali, pada sosokku, seonggok pohon apel, pengganti almarhumah ibunya.
cikiciw, enak bahasanya tapi rada nggak ngeh diakhirnya nih. entar yak dipahamin lagi
BalasHapus:) monggo
Hapushmmm, dalam polibag ya? tapi endingnya rada susah dipahami
BalasHapussesungguhnya diperlukan membaca berkali-kali :P
Hapussaya memahaminya seperti ini..
BalasHapusterkadang kita memiliki luka masa lalu yang membekas, kita setengah mati mencari cara untuk sembuh dan selalu gagal. namun, tanpa kita sadari ada hal-hal yang sederhana yang mampu memberikan penawar luka itu..
seperti apel yang mengobati gadis itu..
intepretasi orang memang beda-beda dalam FF ini, tapi aku bisa nangkap maksudnya sama :)
HapusSeorang gadis yang kehilangan ibunya, yang dulu bekerja di perkebunan apel, kini menganggap buah pohon apel mungilnya sebagai senyum sang ibu. Kebahagiaan yang tersirat.
BalasHapussetuju banget dengan penangkapan ide oleh Basithka.
HapusKeren banget, karena sesuatu yang mengesankan diletakkan di akhir cerita.
@basith: nah! kau menggamblangkan tulisanku :P
Hapus@ocha: saya coba buat cerita yang unpredictable :D
Abisnya yang komen-komen diatas pada bilang gak ngerti dengan ending-nya :')
Hapusmungkin kita semua pernah diposisi sang apple itu. ketika dihadapi masalah atau pilihan..
BalasHapussebenarnya, aku lebih ingin pembaca tahu tentang jalan yang diberikan Tuhan itu tidak pernah salah bang. karena semua akan indah pada waktunya. :D
HapusKasian si apel, sejak steve jobs meninggal dia galau.. #lho.
BalasHapusBagus bgt nih, maknanya dalem bgt. Mngkin orang awam ngira tuh apel bneran apel, tp sbenernya bkn itu. :)
nah, itulah yang aku maksudkan bang :D
HapusAku apel, tapi bukan apel.
BalasHapusAhahaha, nice post!
cukup satu kata : Dalemmmmm!!! :3
BalasHapus