Ternyata sudah sangat lama, saya tidak menjamah rumah digital saya ini. Maaf teman, saya memang tidak bisa seaktif dulu, mungkin juga satu minggu hanya satu dua kali posting. Kesibukan di dunia nyata yang membuat blog ini tidak bisa terupdate selalu. Tetapi, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, saya harus posting.
Baiklah, untuk postingan pertama setelah vakum panjang ini saya ingin memposting salah satu puisi buatan saya yang akan jadi lirik lagu band kelas saya, ya tidak usah bertele-tele. Puisi ini bertajuk Alibi.
Minggu, 30 Oktober 2011
Senin, 10 Oktober 2011
For Inggit: Lavender
Ia menatap kedepan menerawang pandang ke hamparan lavender
keunguan yang sedang merekah. Ia tersenyum dengan kacamata-nya yang ikut
tersenyum, angin yang memainkan helai demi helai rambut ikalnya membuat ia
semakin terbawa ke angkasa. Ia merentangkan tangan sembari kedua
tangannya menyentuh pucuk-pucuk lavender yang sedang bercumbu bersama deru
angin. Lalu ia merenung, muram dan kosong, ini hariku, hari bahagiaku,
tapi aku tetap sendiri, tanpa seorang pun menemani, inikah takdirku, Tuhan?
Lalu angin seakan berontak dengan isi hatinya, ia semakin
berhembus kencang, semakin kencang lalu mereda bersamaan dengan benda halus
yang menteyentuh ujung hidungnya. Ia tersentak lalu membuka matanya perlahan.
Pandangannnya nanar beberapa detik dan kemudian jelas. Ia melihat seorang
pemuda tersenyum padanya sambil memberikan ia sepucuk lavender yang baru mekar,
ia suka lavender itu, sebuah lavender mungil spesial berwarna biru yang berbeda
dengan lavender-lavender lain di padang itu.
"Untukmu," kata pemuda itu lalu tersenyum kecil.
Gadis itu membalas senyumnya dan meraih lavender spesial itu dari
tangan lelakinya, "Dan kau tak perlu bersusah payah memetik ini diatas
puncak kerinduan, aku hanya butuh seikat ucapan dan segumpal memori yang masih
kau simpan—” kata-katanya menggantung.
“Tapi dengan tanganku yang rapuh, aku hanya bisa merengkuh
sekuntum lavender cacat yang juga rapuh seperti ini,” timpalnya kepada gadis
itu sambil menatapnya dalam.
Mata mereka saling bersinkronasi, ada sebuah rindu diantara mata
hitam dan cokelat mereka yang saling mengadu. Mereka menyatu.
“Tapi, bukankah ini sebuah kuntum sempurna diambisi terakhirku.”
Lelakinya terdiam.
“Aku tahu, tak perlu sebuah lavender cantik nan sempurna untuk
mengapresiasikannya, yang aku butuh hanya sebuah kilasan ingatan yang masih
selalu kau ingat di hari ini, hari istimewa bagiku, jugakah bagimu?”
“Tentu, sendiri aku hanyalah sebuah kelopak lavender tanpa mahkota
dan kau hanyalah sebuah mahkota biru mungil yang tak kunjung merekah—“ mulut
lelaki itu ditutup jari telunjuk gadisnya.
“Biarkan aku yang melanjutkan.”
Lelakinya mengangguk.
“Dan bila kita bersama, kita adalah lavender indah yang sempurna
dengan kelopak biru yang berbeda.”
“Seperti kasih kita, membiru diatas kerinduan di awal mula
perjalanan dan berakhir di ujung penantian semu,”
“Dan kita adalah, sebuah biru lavender yang akan merekah diujung
musim semi.”
Lalu mereka berdua menutup mata dan kembali ke dunia
masing-masing; kenyataan yang tak semudah dalam fiksi mini yang
tersutradara.
THIS IS DEDICATED TO: Inggit Puspita Riani a.k.a Inggit Inggit Semut,
Happy Birthday, semoga hadiah ini bisa menjadi hadiah terindah di hari jadimu yang ke-17
Terima kasih, sudah bisa menjadi kakak, sahabat dan teman yang baik untukku,
dan maaf aku hanya bisa memberikan ini, sebuah fiksi mini yang terlampau jauh bila dikatakan sempurna.
Sekali lagi, Sweet Seventeen, Nggit.
Kemarin Hujan
and you know i'm standing here, alone without you and yours |
Kemarin hujan, meluruhkan senyummu yang sudah setengah. Kemarin hujan, mendendangkan interlude lagu untukmu yang hampir usai. Kemarin hujan, menitik balikkan rasaku untuk berpaling dan mencari matahari lain dan kemarin hujan, saatnya meniti pagi baru tanpamu, tanpa sayu sudut matamu dan tanpa potret buram kenanganmu, sendiri...
Dari balik tetesan embun Senin pagi,
aku mulai pergi, jauh, mungkin teramat jauh
kembara rusa kesana kemari,
merombak haluan yang sudah basi,
Minggu, 09 Oktober 2011
Menunggu Mendung
Starfruit Tree, Ngaglik, Surabaya | Gloomy Sunday |
"Hei lihat sekarang mendung," teriak lelaki dengan kucuran peluh yang membasahi dahinya.
Temannya mendongak ke arah langit lalu kembali membanting pandangan kearah tanah yang sudah lama kering.
Ia menyepak-nyepak tanah lalu berkata, "Inilah saatnya untuk kita beristirahat, kawan."
"Benar kami sudah lelah Tuhan, sangat lelah," sahut kawannya sambil tetap mendongak ke angkasa.
Dan inilah saatnya aku bisa menangis, ketika sedikit demi sedikit hujan membasahi tanah kami ini, inilah saatnya kami bisa menangis, diantara hujan dan dengan begitu mereka tak bisa melihat betapa rapuhnya kami, pikir lelaki yang satu dengan tetap memandang ke debu diatas tanah yang ia pijak.
Dan mereka tetap menunggu, selalu menunggu,
Lalu mati dalam keputus-asaan menunggu mendung..
saat suhu kamar semakin menurun
saat emosi memuncak
di depan jendela, merangkul lutut,
menunggu mendung
Sabtu, 08 Oktober 2011
Infinity
Seashore, Pamekasan, Madura 17:25 |
Ya sebuah mimpi tentangku dan mereka.
Yang pernah aku lukiskan diatas birunya langit dan diantara rona senja.
Bergradasi dengan angan yang melambung tinggi.
Aku punya mimpi,
sebuah alur cerita renyah dan menarik
yang dulu hanya angan di kepulan asap lalu-lalang,
tentangku dan kehidupan hitam putihku.
Aku punya mimpi,
dalam tanya, dalam duka.
Sebuah barikade waktu yang tertutup 'kenyataan'
Aku punya mimpi,
yang tinggal selangkah,
yang hanya sekeping,
yang kurang sejengkal.
Aku punya mimpi,
mimpi parau yang nanar oleh logika,
dan kini terwujud dalam lingkar oktaf nada
dan di setiap tulisan yang kugoreskan
lalu tak terbatas,
Duniaku kini, bukan dulu, tapi selamanya...
dari seorang pemimpi,
dalam cerca dan hinaan,
ia menapaki hari,
hingga kini, ia mati dalam raih mimpinya
selama ini..
Kamis, 06 Oktober 2011
Sebuah Pepatah Kuno
Kudapan yang kuterima setelah selama setahun lebih bersama dan berdekatan memang indah, tapi sekarang disaat tubuh kita terpisah jarak beberapa meter dan berbeda kasta kita jadi seperti orang asing yang tak pernah saling kenal.
Dan kalianlah yang membuatku menemukan sebuah pepatah kuno:
"Satu-satunya menjaga pertemanan dengan seseorang adalah DENGAN HANYA MENJADI TEMAN, tidak lebih. Jangan pernah menyebut sahabat atau yang lain. Pasti implikasi dan akhirnya buruk"
source: sms dari Isa Istifani
Minggu, 02 Oktober 2011
Ilusi: Akhir Penantian
Taken with Digicam SONY DSC W-220 CyberShot w/ tele zooming | Editing by Photoscape |
dalam penantian di ujung waktu,
menikmati udara yang semakin hambar,
mengunyah waktu yang sudah jarang.
Aku, hidup
dalam pinggiran zaman berdiri tegar diatas penantian, berdua atau sendirian?
Cerca,
cercaan itu yang sudah kenyang kumakan.
Hulu pedang
yang sering menancap di jari manisku membuatku terbiasa, akan semua hal yang
pernah kita bersama lakukan.
Andai aku memilikinya, sayap bidadari menghitam. Dalam
haribaan Tuhan, pelataran tak berwarna, ya hati kita. Hati seorang kawan yang
sudah kau ludahi, kau robek sampai irisan paling kecil. Kudengar kaca itu
dipecahkan. "Pyar" dan kau hanya diam menikmatinya hancur, kawan
inilah pembalasan? Akan semua harapan yang telah kita lambungkan di altar agung
Tuhan?
Terima kasih kawan, inilah ujung penantian. Dalam ilusi dan
imajinasi seorang pujangga akhir zaman. Dikhianati dalam persahabatan yang ia
pegang teguh sendiri? Berdua? Bertiga? Atau berempat? Entahlah aku sudah tak
perduli kawan.
Ditulis dalam kecewa,
‘ditampar’ persahabatan
Lalu menunggu di dalam
penantian
Dan tergantung pada akhirnya
Sabtu, 01 Oktober 2011
Bebintang dalam Kenangan
Taken with SONY DSC W-220 CyberShot w/ flash | Editing by Photoscape |
Angin
menggeser posisi bebintang di langit yang terang penuh warna kerlap-kerlip.
Bebintang hanya tenang dan mengalir bersamanya. Cahaya bintang yang redup itu
semakin kalah binar oleh bebintang baru yang lahir semakin banyak. Ia seorang
bintang tua yang sudah semakin melagu sendu.
"Kemana
aku kau bawa, duhai angin?" tanya bebintang lembut.
"Ke
tempatmu berasal," jawab angin bangga.
Angin
berhembus semakin dalam, menyentuh sanubari bintang-bintang yang kian redup
karena berada di tempat yang salah. Bintang itu hanya menuruti tanpa ia bisa
menolak karena memang angin memegang kendali akan ia, akan kartu matinya. Ia
melihat ke depan, ke galaksi yang ia belum tahu namanya. Ia melihat galaksi itu
begitu gelap. Hitam dan dingin. Dimana?
Dimana matahari dan para bintangnya? Pikir bintang itu.
Label:
Cerpen,
Fotografi,
Momments,
Perjalanan Hidup
Langganan:
Postingan (Atom)