![]() |
Broken Doll | Taken with SONY DSC-W220 CuberShot | Editing by ToyCam AnalogColor |
Dan lagi, bocah itu membaca. Membaca secarik kertas yang ia pegang erat tanpa tulisan, hanya sedikit guratan karena tergencet sesuatu selebihnya hanya kuning pucat karena tersimpan cukup lama. Ia membacanya lekat, padahal ia tahu, tak ada apapun. Hanyalah kertas kuning kusam yang ia simpan erat-erat di saku celananya.
Sesekali ia melihat mentari dan berkata sendiri dalam hati. Mentari, mengapa kita hidup? Dan untuk apa kita hidup? Untuk matikah? Pemikir. Ia memang seorang pemikir yang tak pernah berbicara dalam kebenaran, ia hanya menghias senyum dalam tangis dan merangkai ketegaran dalam suram harinya.
Sementara itu hatinya berbicara, kepada Tuhan, kepada sekelilingnya, walaupun ia sendiri tahu, ia termarginalkan, bahkan Tuhan pun mengasingkannya. Ia bermandikan kelabu, yang semakin menghitam. Dan akan selalu di jauhi ketika berusaha bangkit dari keterpurukan. Angin yang selama ini bergerak bebas dan harmonis pun merasa jijik bersimfoni dengannya.
Bocah itu hanya bocah lelaki kecil yang tak tahu harus melangkah kemana, ia hanya membaca tanda dan menelusurinya tanpa guru. Tanpa satu fondasi yang menuntun. Ia abstrak, ia seringkali termanipulasi oleh jiwanya sendiri yang begitu kompleks dibungkus oleh seonggok tubuh kecil yang polos. Tumpang tindih dan berbanding terbalik memang.
Tapi, ia tahu, ia masih memilikinya. Harapan yang tak kunjung datang itu bukan untuk ditunggu. Hanya harus berlari mengejar dan bangkit. Ia tahu, ia masih memiliki secark kertas itu. Memiliki makna, adanya harapan. Harapan yang belum ia tulis, yang belum ia capai. Ia percaya suatu saat kertas buram itu tak lagi kosong. Berubah dengan penuh jejal sesak harapan dan cita yang telah ia rengkuh. Dan kertas itu adalah penentu dan titik balik hidupnya. Dari kelabu menjadi benderang, dari hitam menjadi terang. Dan itu juga yang menjadi bukti, bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah salah. Salah karena keadaan yang tak pernah bisa disalahkan. Menikmatinya, sampai titik balik datang.
Dan pada epilog, bocah itu menatap mentari lagi dan berterima-kasih. Lalu senyum datang dari wajah kecilnya, senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah singgah di pipi dan lesung pipitnya dan berdiri berlari mengejar mentari bersama siluet ‘Ia’ yang ternyata adalah aku. Aku yang bercerita tentang diriku. Tentang hidupku yang tak pernah sejalan dan selaras...