(ada baiknya membaca sambil mendengarkan music random ini)
“Pernahkah
sejenak otak kita memutar sedikit kenangan dari masa lalu, meramunya saat malam
dan sunyi mendekap? Menjadikan ramuan itu sebuah tolak ukur keberhasilan kita
memerbaiki kehidupan yang saat ini kita jalani. Tidak. Memang tidak. Kita tidak
bisa hanya belajar dari melihat spion, ada kalanya kita perlu menabrak, pecah,
bahkan remuk sampai tak bisa kembali ke keadaan semula untuk berubah.” –Samasta
Astagiri.
*
Aku tak pernah bisa membedakan mana yang disebut
banyak orang mimpi dan mana yang kuanggap sebagai kenyataan. Tak ayal mereka
hanya dipisah oleh selembar kertas tembus pandang yang pecah bila kau sentuh. Aku
yakin tidak ada satu pun yang mau menjadi seperti orang gila—padahal kau yakin
sepenuhnya bahwa sepenuhnya kau waras.
“ Sam,” panggil satu suara dengan nada dasar tenor
jarang kudengar belakangan.
“Hai, Bil, apa kabar? Sejak kapan kakimu masih mau
mendaratkan di tanah kumuh ini?”
“Ah, hiperbolamu selalu saja kumat bila didekatku,”
timpalnya dengan percaya diri.
“Hanya perasaanmu saja yang berlebihan ataukah aku
selalu bersikap begini ke hampir semua orang”
“Hampir?”
“Apa aku salah berucap? Iya hampir.”
“Lalu siapakah orang beruntung yang selalu kau
perlakukan sedemikian baik?
“Diriku sendiri.”
Dari nafasnya bisa kubaca, dia mendengus. “Kalau itu
artinya tidak ada seorang pun yang tak kau perlakukan sama dengan hiperbolamu
itu.”
Senyumku mencuat dari pipi kiriku, tapi hanya asem-aseme lambe, kalau kata orang Jawa.
Setelah pertemuan tak terduga itu, akhirnya kuajak
Billy berjalan-jalan, ke kedai kopi terdekat di pusat kota. Kotaku tak pernah
sesepi ini di musim liburan. Entah kali ini hiperbolaku yang terlampau atau
memang begini kenyataannya?
Pesananku datang. Satu kentang goreng premium dengan
saus keju ditambah cappucino hangat. Billy tidak memesan, ia bilang ia sangat
suka kopi, tetapi ia sedang diet untuk keperluan risetnya.
“Sudah hampir lima tahun ya.”
“Lima tahun, satu bulan, dua minggu, lima hari,
lebih tepatnya,” katanya selalu dengan analisa yang akurat.
Kugoyangkan sedikit cup kopiku, “Jujur saja aku sangat merindukanmu, Bil, di sini tak
ada yang bisa mengerti keadaanku seperti kau dulu.”
Ia tampak tak memerhatikan, matanya lurus menatap ke
jalanan yang memerah karena senja, gerimis juga sudah menaungi kedai kopi kami.
Tapi dari sikap tubuhnya aku tahu ada satu penyesalan yang membuncah di sana. Terlampau
dalam sampai saat batu dilempar ke sana tak akan terdengar bunyinya waktu
mengenai dasar. “Maaf.”
Untuk apa?
Untuk segalanya.
Aku juga, minta maaf, karena masih
saja belum bisa menyembunyikan ini dari penglihatanmu.
Sudahlah, kita jadi tampak seperti
dua sejoli yang sedang marahan jika terus berbicara dari sini.
Iya, kita jadi tampak tak normal
saja.
Kami tersenyum.
Hujan semakin deras di luar, petir juga beberapa
kali menggetarkan kaca lebar di samping kiriku. Billy bergeming di posisinya
tetapi aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu yang pelik, entah, aku tak pernah
bisa masuk ke bagian memorinya sedalam yang ia simpan itu. Selalu berkabut abu.
Dan... hingga aku menyerah, “Ada apa?”
“Kau tahu, hanya pura-pura tak tahu dan tak ingin
tahu.”
Pada detik ke sekekian aku baru sadar apa yang ia
maksudkan. Billy langsung mencela, “Dasar pemikir yang lamban, apa kau tak
pernah berlatih fokus?”
Aku memaksa untuk tertawa, mengejek. “Aku hanya berfokus
pada hal-hal yang penting,” jawabku apa adanya.
Jadi menurutmu ini tak penting? Jadi
menurutmu kau dan aku dipertemukan dulu saat melihat “itu” secara bersamaan, di
waktu yang sama, itu hanya kebetulan? Sadarlah Samasta, ini takdir.
Iya memang tidak, aku hanya iri
dengan gadis seumuranku yang lain, mereka dengan tenang bisa menjalani hidup
mereka, menghabiskan waktu sore mereka entah membaca, membeli bunga, minum
kopi, berbelanja, dan yang terpenting dengan segala ketenangan yang mereka
miliki. Kau tak pernah paham dengan keadaanku Bil, kau lebih siap daripada aku,
kau lebih kuat daripada aku, aku tidak pernah tahan dengan keadaanku, meski aku
tahu, Tuhan telah mengingatkanku dengan berbagai cara yang tak pernah masuk ke
logikaku.
Kau hanya tak pernah mau melihat
lebih dalam ke dalam diriku Sam, aku tidak sekuat itu, kau tak pernah tahu
betapa tersiksanya diriku atas takdir yang sama-sama kita miliki. Tetapi yang
terus dan akan terus kucoba adalah tetap menerima dan mau menerimanya, bukan
malah menghardik Tuhan seperti yang kau lakukan.
“Tapi—” ucapanku seperti meluncur begitu saja terucap.
Tapi, kau tahu bagaimana sulitnya
aku menjalaninya saat pertama kali aku melihat semuanya Bil, sebelum bertemu
dirimu, sebelum kau menguatkanku di saat-saat terburuk yang sudah kujalani.
“Oke, aku sangat paham dengan keadaanmu Samasta. Bahkan
arti dari namamu pun memberikan makna dalam. Dipersatukan.”
Kilat mengerjap. Sedetik, dua detik. Petir. Langit
hitam sepersekian detik.
“Apakah yang kau maksud adalah kita? Dipersatukan lewat
satu takdir yang sama? Menjalani momen-momen yang hampir sama?”
“Takdir yang memersatukan.”
“Takdir,” sahutnya untuk menekankan kalimatnya. Yang
terjadi selanjutnya adalah hening. Titik keheningan paling hening yang pernah
kurasakan, hingga indera pendengaranku dalam mendengar bagaimana ribuan tetes
air mendobrak-dobrak dinding dengan sangat keras.
*
Kami berpisah di persimpangan dengan tak saling
bertegur sapa. Tapi itulah yang dilihat kebanyakan orang. Tapi sejauh yang bisa
kujelaskan, sebenarnya sepanjang perjalanan menuju persimpangan kami tak pernah
berhenti berdebat.
Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, kejadian
pertama adalah ketika aku berumur 9 tahun. Saat itu cuaca cerah, aku berjalan
di taman kompleks dengan kelinciku, Lukas. Saat kakiku menginjak aspal yang
panas, tiba-tiba pandanganku berubah hitam putih, seperti melihat seri-seri
awal film bisu Disney. Sejauh mataku melihat, yang kutangkap adalah jalanan beraspal
yang sangat halus dengan di sisi-sisinya, gedung-gedung hampir lima meter
bergaya gotik. Anehnya, lingkungan itu sangat sepi. Hanya sepoi angin yang
mengibarkan bendera-bendera yang menggantung miring di setiap gedung. Beberapa menit
kemudian yang kulihat adalah asap. Asap hitam yang mengepul tebal yang seakan
menutupi jalan napasku. Kemudian kudengar teriakan wanita, jeritan anak-anak,
lolongan anjing yang panjang, hingga tangisan bayi yang meremukkan hati siapa
saja yang mendengarnya. Semua suara itu berbeda, tapi ada satu kesamaan dari
semuanya, yaitu suara yang keluar itu seperti suara-suara yang sedang
mempertahankan hidup yang sudah ditarik-tarik oleh kematian. Mereka sekarat. Aku
yang pada saat itu masih sangat kecil untuk mendengarkan suara mengerikan itu
lantas tak bisa melepaskan genggaman tanganku di telinga, aku menangis
sejadi-jadinya. Mataku yang saat itu tertutup tak pernah bisa benar-benar
tertutup, dalam hitamnya pandanganku aku masih bisa melihat wajah-wajah yang
pucat, mulutnya terbuka berbentuk lingkaran sempurna—tak kulihat barisan
gigi-geligi di sana. Mereka semua melayang di setiap sudut mataku, ada yang
meminta tolong, hanya menangis, bahkan yang paling kuingat adalah pria tua
dengan mata hitam pekat menatapku tajam tanpa berbicara. Kulihat ada luka
menganga lebar dari belakang kepala hingga ke dahinya, membuat kulit kepalanya
mengibar bak bendera. Darah segar masih mengucur deras di sana. Senyumnya membuncah
padaku, atau lebih pantas kusebut seringai tajam nan menakutkan.
“Siapa kau?” suaraku meneriakinya.
Ia masih menyeringai dalam diam, seringainya semakin
menakutkan.
“Siapa kau? Mengapa kau mengangguku?”
Diam. Diam. Diam. Lalu sedetik kemudian ia sudah
berada sepuluh senti di depanku, lalu memelukku dengan tangannya yang penuh
darah kering. Sangat erat. Sampai sesak. Dapat kulihat jelas luka menganga di
kepalanya masih berdenyut seperti baru saja ditorehkan di sana.
Dengan suara berat dan memantul, ia menjawab, “Aku
meminta bantuan.”
Kudengar teriakan lagi.
Lalu... gelap.
sumpah ngeri baca yang terakhir yang dikepalanya penuh darah deras
BalasHapusSungguh seramnya.
BalasHapusWww.Milyunerblog.blogspot.com