"Mungkin kalau Ia punya satu saja kesempatan memilih kehidupan. Tentu tidak akan memilih kehidupan seperti yang Ia jalani kini."
Puasa di hari
ketiga ini cukup melelahkan, ujian akhir semester ini penuh dengan komputer dan
mini cafe yang harus disiapkan presentasinya ke dosen. Sangat cocok dengan cuaca
yang tidak menempatkan satu saja awan di atas tanah Surabaya.
Pukul empat
kurang lima belas, aku terpaksa bagun dari tidur siang. Ya, tidur dihitung
sebagai ibadah saat Ramadhan. Baru lima belas atau dua puluh menit neuron
otakku meregang, suara gaduh memekikkan telingaku ditambah suara desingan benda tumpul yang beradu dengan
besi. Berkali-kali. Sayup-sayup di telinga dan kesadaranku yang setengah sudah
pergi entah ke mana, suara-suara tidak jelas muncul timbul tenggelam. Seperti seorang
tunawicara yang mengoceh tentang sulitnya hidup.
“Bangun...,”
suara Uti mengembalikan kesadaranku yang ke sedang mengurus visa untuk pergi ke
Swiss. “Bangun, ayo dilihat di luar ada apa!” tambahnya.
“Memangnya ada
sih Uti, Eki ngantuk, capek tadi kuliah lagian kan puasa juga, males,” rengekku
sembari mengembalikan posisi bantal yang turun.
“Di luar ada
yang bertengkar, sepertinya, tetangga sebelah.”
“Biarin aja
Uti, kan urusan mereka.”
“Wistalah, nuruto Uti wae, Le.” (Sudahlah, nurut saja sama Uti.)
“Ya... ya...,”
aku menjawab setengah mendengus. Tanpa disuruh panjang lebar lagi aku berlari
menuju depan rumah, melihat apa yang terjadi.
Mataku yang
masih belum siap menerima cahaya sore intensitas tinggi yang hangat nanar
sedikit. Melihat ke asal suara itu. Suara itu berasal dari tiga rumah dari
rumahku. Tidak jelas apa yang mereka perdebatkan, beberapa kata terpotong di
tengah, beberapa lagi seperti berbicara sambil terisak tetapi tak jelas apa
yang diucapkan. Hanya terdengar “haha”, “awawa”, “huhu”. Persis seperti ucapan tunawicara.
“Itu, si Ai (baca= A i),”
sekonyong-konyong Uti sudah di belakangku, meneriakkan kalimat itu cukup keras
di dekat telingaku.
“A... siapa,
Uti?” jawabku perlu penegasan.
“Ai,
tunawicara yang tinggal di rumah ungu itu.”
“Oh, iya,”
jawabku. Aku baru ingat aku memang punya tetangga yang tunawicara dan agak
terganggu kejiwaannya. Bukan, tidak pantas jika kukatakan terganggu, hanya saja
terkadang suka marah-marah, ya seperti sekarang ini.
Dari rumah itu
terdengar jelas suara pintu dibanting. Seorang wanita dengan rambut putih ala
Marylin Monroe keluar sambil mengeluh, “Wis,
mbuh, aku wis ora kuat ngurus dia.”
“Memangnya ada
apa toh?” tanya Uti ke wanita itu,
kalau tidak salah dia kakak dari Ai, orang-orang biasa memanggilnya Mama Chen.
“Itu Mbak, si
Ai, nggak tahu tadi saya tinggal sebentar ke sebelah mau nidurin cucu saya, eh malah pagar rumah dipukul-pukul pakai gagang
sapu sama teriak-teriak sampai orang-orang pada datang.”
“Wis... sabar wae toh, perlu sabar yang banyak, maklum aja kan adikmu memang
begitu keadaannya.”
“Inggih, Mbak, kurang sabar apa lagi
saya, wong semuanya sudah saya turutin. Setiap pagi itu minta bubur ayam, kan Mbake tahu sendiri bubur ayam nggak
setiap hari ada yang jual. Suami saya itu sampai muter-muter nyarinya. Gitu
kalau nggak diturutin bisa ngamuk, semuanya dilempar-lemparin, gimana saya
nggak jengkel,” pungkas Mama Chen sambil matanya terlihat berair.
Uti tidak lagi
menjawab penjelasan Mama Chen, memang sudah cukup jelas menggambarkan betapa
susahnya. Uti Cuma mengusap-usap punggung Mama Chen, menyabarkan. Dari luar
dasternya terlihat basah karena warnanya lebih gelap dari bagian lain di
sekitarnya, mungkin karena keringat.
“Apalagi kalau
sore begini, Ai itu selalu saya mandiin, wong nggak bisa mandi sendiri ditambah
lagi sekarang jalannya pakai kaki tiga, gejala kencing manis sama diabetes,
Mbak. Kalau suami saya pulang telat begini, saya juga yang repot, Andra—cucu saya—nggak
mau tidur kalau nggak dibacain cerita, terus Ai-nya juga nggak mau kalah, dia
pengen cepet-cepet dimandiin. Saya kadang juga capek Mbak, hidup ngurusin adek
saya yang begitu.”
“Hus, nggak apik bilang gitu, Mah, sudah
takdirnya Gusti Allah. Biar Mama sekeluarga diangkat derajatnya, apalagi kan
ini bulan puasa, nggak baik ngomong begitu,” jawab Uti lalu lagi-lagi
menyabarkan Mama Chen.
“Astagfirullah,
iya Mbak, saya khilaf tadi bilang gitu, kalau nggak saya sendiri siapa lagi
yang mau ngerawat adek saya yang begitu keadaannya. Mungkin orang lain dikasih
uang pun jarang ada yang mau,” keluhnya lalu pamit ke Uti dan kembali ke rumah
melihat Ai yang tidak lagi berteriak-teriak.
Uti duduk di
dipan panjang di depan rumah, beberapa detik tidak berbicara hanya hela demi
hela nafas panjang yang muncul. “Kenapa Uti?” tanyaku.
“Nggak
kenapa-kenapa, Le, cuman kasihan.”
Sekarang giliranku
yang diam. Hanya menjawab pertanyaan Uti dengan anggukan-anggukan kecil dan
menyusul Uti duduk di sebelahnya. Memang selama aku tinggal di sini, aku masih
ingat benar, si Ai—yang sebelumnya aku tak pernah mengingat namanya—memang hanya
tinggal bertiga. Dirinya, Mama Chen, dan suaminya. Dulunya, Ai pernah punya
suami. Mungkin karena belitan ekonomi yang semakin mencekik dan juga tak tahan
dengan keadaan Ai, suaminya minggat
sekitar tahun 2002. Ai juga dulu punya anak perempuan, kalau tidak salah
namanya Laili. Namun sayang, saat balita Ai sudah harus kehilangan Laili karena
demam berdarah yang terlambat penangannya. Sejak saat itu intensitas marahnya
semakin banyak. Memang terlalu banyak yang sudah direnggut dari hidupnya,
bahkan untuk ukuran orang-orang berkebutuhan khusus seperti Ai, berlipat
bebannya.
Uti menjelaskan
padaku untuk terus bersyukur sama Gusti Allah karena telah diberi hidup dan
keadaan yang sempurna, lengkap, tidak kurang satu apapun. Kata Uti, jangan
sekali-kali memandang segalanya ke atas, karena kalau tersandung batu kerikil
rasanya sakit. Sebenarnya jika kita memandang ke bawah masih sangat banyak
kehidupan-kehidupan yang jauh lebih menyedihkan, teramat jauh lebih menyakitkan
daripada kehidupan kita yang selalu kita eluhkan ke Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa
seorang Ai yang tunawicara mengeluh? Mungkin Tuhan yang fasih akan semua bahasa
bisa dengan mudah mengerti. Tapi bagaimana dengan keluarganya? Tetangga-tetangga
yang lain? Kita yang orang normal saja terkadang masih butuh orang lain untuk
sekedar mendengarkan. Lalu, bagi Ai, apakah Tuhan terlampau kejam? Untuk mendengarkan
Ia bicara saja orang lain terkadang tidak bisa. Sesungguhnya hanya Tuhan yang
Maha Adil dan tidaklah pantas seorang manusia seperti diriku ini selalu
mengeluh-eluhkan soal keadilan. Allah pernah bersabda, hukum yang
seadil-adilnya adalah hukum Allah, tidak ada keadilan yang melebihi yang
diberikan oleh-Nya. Semoga selalu ditabahkan hati Ai yang mungkin sudah
terlanjur luka.
Semoga keluarganya Ai diberi kesabaran ya,. insyaAllah akan ada banyak keberkahan dibalik cobaan tersebut :)
BalasHapusAku juga tip melihat kum disabel itu, nyeri dadaku dan selalu bilang, "GBU". Tapi mereka itu hebat lho. Tetap survive di balik kekurangan mereka. =D
BalasHapusBtw aku lagi ngadain giveaway nih. Ikutan yuk, =D
http://immanuels-notes.blogspot.com/2014/07/second-give-away-berhadiah-novel-gratis.html
andakaaaa! cek facebook, cek inbox di bagian others, miss you too banget banget hahahaha mau add facebook mu gak bisa jadi kirim msg aja :3
BalasHapusbtw makin pinter aja sih nulisnya yaampun ni anak dikasi makan apa sih sama emaknya hahahaha
Kereenn, banyak nilai-nilai yang bisa di ambil dari kehidupan Ai. Kita harus senantiasa bersyukur dan selalu melihat ke bawah. Misteri dong berikutnya, tapi jangan hantu-hantuan.. :D
BalasHapusAh, poor Ai :(
BalasHapusAii.. luar biasa sekali kamu. Keluarganya pun tak kalah hebat.
BalasHapus