-BASED ON TRUE STORY-
“Eki, ayo tarawih, sudah azan...,”
suara itu menggantung di ruangan lima kali lima tempat aku melihat seorang
bocah lelaki kecil duduk manis di sofa hijau bermotif bersama rapido hitam dan
buku bergaris kosong.
“Eki...,” panggil suara itu
lagi.
Tanpa satu kata terlontar
dari mulutnya yang mungil bocah kecil itu berdiri sambil mendengus kesal. Ia berlari
ke arah perempuan dengan mukena putih yang jalannya agak pincang dan bungkuk. Aku
tak dapat melihat siapa dia, dia membelakangiku, kemudian berlalu pergi bersama
bocah itu.
Aku meneruskan perjalanan
keluar dari rumah itu. Berdiri sejenak memandangi temaramnya cahaya kala itu. Tembok
bata tinggi membatasi rumah-rumah warga di sini dengan sebuah gudang raksasa
yang sudah tak beroperasi di depannya. Beberapa orang lagi datang; dua gadis
yang membawa mukena di tangan mereka, yang satu rambutnya ikal dan satunya lagi
dikuncir samping; bapak-bapak dengan baju Koko warna kelabu lengkap dengan
sarung dengan warna senada; dua orang nenek-nenek yang bercakap-cakap tentang
acara megengan
yang penuh sesak. Aku melangkah maju lagi, tepat di depan mushola yang dituju
para manusia ini ada sumur setinggi satu setengah meter. Lelaki tua yang sama
tuanya dengan kedua nenek yang kulihat berjalan tadi sedang azan di dalam
menyelesaikan kalimat terakhirnya, “Allahuakbar, allahuakbar, la ilaha illallah,”
dengan nada minor dan suara berat tetapi meliuk ala middle east.
Bocah
itu lagi, siapa namanya, ya, Eki, ia duduk di deretan paling depan tetapi di
sudut. Ia tampak tidak memakai seragam selayaknya akan menunaikan ibadah. Ia hanya
mengenakan celana tiga perempat krem yang warnanya sudah pucat dan kaos warna
biru donker dengan gambar Saras 008. Superhero kesukaanku,
ujarku
dalam batin.
Iqomat dikumandangkan dengan
lantang, semua jemaah tampak hampir serentak berdiri, tapi bocah itu tetap asik
dengan rapido dan bukunya. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukan bocah itu
dengan rapido dan bukunya. Aku melangkah masuk, langkahku terasa ringan, bahkan
ini lebih ringan dari pengalaman berjalan di air asin. Seperti di bulan. Saf perempuan
di depanku penuh dan rapat, pandanganku terhalang oleh jemaah perempuan yang
mulai sholat. Tak mau menyerah melawan kepenasarananku, aku melihat satu celah
di antara dua orang gadis remaja yang safnya agak renggang, aku mencoba
memanfaatkannya dan... Blus. Aku menembus mereka, ya, benar-benar berjalan
menembus mereka, dan yang lebih parahnya lagi mereka tak terusik dan tak
menyadari keberadaanku. Kaget sekaligus bingung bukan kepalang seorang manusia
berjalan menembus manusia lain. Sempat terlintas di benakku, apa ini mimpi? Atau
aku sudah mati? Cepat-cepat aku menghapus prasangka itu dan barulah pada
sepersekian detik itu aku menyadari tubuhku seperti berbeda dengan mereka,
tubuhku hitam-putih. Hanya ada hitam dan putih warna tubuhku. Karena terlalu
penasaran dengan bocah bernama Eki tadi tak kuhiraukan keanehan-keanehan yang
mulai tak masuk akal ini.
Aku
berjalan beberapa langkah ke depan sampai berada tepat di sebelah bocah
berkulit sawo matang yang punya satu lesung pipit di pipi kirinya itu—aku melihatnya
tersenyum saat duduk di sofa rumahnya tadi, ia tampak bangga dengan gambar
pohon sederhana yang melengkung kasar dan ada dua buah apel di pohon itu yang
sama sederhananya dengan pohonnya.
Aku
tersenyum. Ia menggambar sebuah rumah dari persegi dan segi tiga sama sisi yang
tak sempurna, di depan rumah itu ada enam stickman yang diberi penanda identitas yang jelas—wanita;
dengan rambut panjang dan pita, pria; dengan tiga helai rambut berdiri dan
kumis. Di gambar itu ada satu yang berbeda, stickman dengan kumis dan peci
tersenyum, tapi gambarnya tak sempurna. Sepertinya ia menggambar karakter
terakhir ini dengan tangan yang terguncang-guncang entah karena apa.
“Bagus,”
komentarku yang tiba-tiba saja keluar, seakan lidahku licin seperti dipel
menggunakan antiseptik beraroma cemara.
Yang
semakin membuat mataku terbelalak, ia menoleh padaku, menunjukkan tampang
polos-heran-senangnya yang khas. “Hei, kenapa kau datang jam segini, ini masih
pagi, Om,” bisiknya.
Apa aku sudah gila. Pertama aku menembus manusia. Ke dua aku tidak
terlihat. Ke tiga bocah ini dapat melihat dan sekaligus mendengar ucapanku, tandas batinku yang seperti sudah tak
sepaham dengan akal sehatnya.
“Kamu
ngobrol sama aku?” tanyaku meyakinkan.
“Memangnya
sama siapa Om, kan Papa, Uti, Mama, Yang Kung, sama semuanya—“ tangannya menggambar
lingkaran di udara sebesar tubuhnya menekankan kata ‘semuanya’ padaku, “—sedang
tarawih, stt, jangan berisik om.”
Aku
tersenyum getir, akal sehatku masih berdebat dengan batinku. Hanya menjawab
pertanyaan anak itu dengan mengangguk halus.
“Om,
sini deh,” sahutnya tiba-tiba sembari menggeser pantatnya lebih mendekat ke arahku
yang sedang jongkok, “lihat aku baru saja menggambar rumahku sama keluargaku.”
“Oh
ya, mana coba?” jawabku dengan meniru aksen bocah ini.
“Ya
ini,” ia menyodorkan kertasnya yang lusuh dan penuh guratan, “dari kiri ya, ini
Papa, Mama sama Adek, ini Aku, nah selanjutnya Uti, dan yang kanan sendiri ini,
Yang Kung,” tandasnya menjelaskan dengan penuh semangat.
Aku
mengangguk-angguk tanda paham, ketika aku ingin mengomentari gambarnya, ia
sudah berbicara lagi, “Tapi om, ini Yang Kungnya agak nggak bulet ya kepalanya. Sebentar ya,”
ia menarik kertasnya kembali ke atas buku di depan kakinya yang menyila,
kemudian ia mencoret-coret gambar stickman paling kanan yang katanya tak nggak bulet kepalanya itu, “nah... sudah.”
Aku
merengut. “Loh kok Yang Kung dicoret-coret, nanti Yang Kungnya ngambek lo...”
“Kok
gitu, Om?” tanyanya penuh rasa penasaran.
“Iya
kan, soalnya Eki nggak gambar Yang Kung di gambarnya Eki.”
“Tapi
om, tadi Yang Kungnya nggak bulet, jelek.”
“Iya,
tapi kan namanya keluarga tetep harus ada walaupun nggak bulet kepalanya, Eki.”
“Abisnya...,”
ia balik mendengus padaku. “Yang Kung kalau jadi Imam tarawih kelamaan Om, Eki jadi males
deh tarawihnya.”
Aku
tersenyum pada bocah ini sebelum menjelaskan panjang lebar dengan bahasa
sesederhana mungkin, “Begini, meskipun Yang Kung kalau jadi Imam lama tapi tetep aja Yang Kungnya Eki
kan. Tetep keluarganya Eki kan?”
Ia
menangguk polos.
“Nah,
makanya itu Eki tetep harus gambar Yang Kung di sini, biar Yang Kungnya seneng waktu lihat gambar Eki.”
“Gitu
ya Om, tapi Yang Kung sering marahin Eki, Om,” adunya, di bagian bawah matanya
berair hanya menunggu untuk jatuh.
“Pasti
Yang Kung marahin Eki ada alasannya ya kan?”
Air
matanya tumpah beberapa tetes ketika mengangguk mengiyakan pernyataanku. “Yang
Kung marah soalnya Eki males sholat, males ngaji, dan nggak mau nurut.”
“Nah
itu alasan kenapa Yang Kung marah sama Eki, berarti kalau gitu yang salah
siapa, hayo?”
“Eki,”
suara bocah itu menggantung saat mengucapkan suku kata terakhir pada namanya.
“Eki
jangan sedih lagi, ayo mau Om bantuin gambar Yang Kung lagi?”
Eki
menggeleng, “Nggak om, Yang Kung tetep jahat, Yang Kung mau berangkat habis
ini.”
“Yang
Kung mau berangkat ke mana, itu kan—“ telunjukku menunjuk ke arah Imam yang
sudah tua, aku yakin itu pasti Yang Kung yang dimaksud bocah ini “—Yang Kung
jadi Imam tarawih.”
“Iya,
tetep aja Yang Kung mau berangkat, Om.”
“Ke
mana?”
“Nggak
tahu, padahal Eki sudah bilang nanti Uti sendirian kalor Yang Kung berangkat,
tapi tetep aja Yang Kung mau berangkat.”
...
Percakapanku terpotong
begitu saja, seperti film lama yang tiba-tiba dihentikan di tengah, aku ditarik
oleh entah apa ke belakang sehingga tubuhku melayang jauh menembus apapun yang
menyentuh tubuhku. Lalu tersentak dan... sadar.
“Barusan tadi? Ah hal
ini lagi!” umpatku agak keras, memang aku sudah beberapa kali mengalami hal ini
saat melihat teman-temanku dengan wajah penuh sesak masalah di kepalanya dan
ingin bercerita. Aku bisa melihat keping-keping masalah dan apa yang akan
mereka ceritakan melayang tak jauh dari atas kepalanya. Biasanya yang kulihat
hanya kilasan masa lalu mereka, kejadian yang mereka ceritakan secara visual
akan muncul hitam putih di mataku. Walaupun kilasan itu hanya seperti video di
Instagram yang hanya berdurasi maksimal lima belas detik.
Kepalaku semakin pusing
ketika mengingat perjalanan-kilas-balik—aku mempunyai julukan tersendiri untuk
momen ini—yang baru saja kualami. Siapa aku? Di mana aku tadi? Eki? Bukankah
aku sangat mengenal nama itu? Tempat itu juga tidak asing.
...
“Kanker
Limfoma sudah menuju ke stadium akhir, pembengkakan pada paru-paru dan jantung
Pak Daslim sudah mencapai batas maksimal.”
“Apa
peralatan dan teknologi di rumah sakit ini tidak ada yang bisa membantu Ayah
saya, Dokter?”
“Akan
kami coba semampu yang kami bisa dengan alat pompa jantung dan alat bantu
pernafasan untuk Bapak Daslim, tetapi akan membengkakkan biaya perawatan karena
tidak ditanggung oleh Askes,” dokter separuh baya dengan gejala kebotakan yang
mulai muncul di kepalanya menjelaskan panjang lebar.
“Tidak
ada biaya yang lebih berharga jika dibandingkan dengan nyawa Ayah saya, Dokter!”
tensi pada nada suara lelaki itu meninggi. Di belakang lelaki itu, anak lelaki
kecil sedikit merapat karena bentakan lelaki di depannya membuat kaki-kakinya
sedikit gemetar. Mungkin lelaki itu Ayahnya.
Apa
lagi ini? Kilasan lagi? Kilasan siapa?
Bocah
yang bisa kuprediksi umurya sekitar dua belas tahun itu menoleh ke belakang. Seperti
mendengar langkah kakiku yang menginjak udara dan sama sekali tak bersuara. Bocah
itu seperti melihatku. Bukannya dalam setiap kilasan aku adalah penonton dalam
drama bukan tokoh dalam drama itu. Bocah itu tetap memandangku, lalu ekspresi
herannya mereda digandikan ekspresi lega yang mendalam.
Ia
tersenyum. Sontak aku mengenali senyum dengan lesung pipit di pipi kirinya.
Eki. Ya bocah yang berbicara dan bisa melihatku dalam kilasan sebelumnya. Ia sudah
lebih dewasa. Mengenakan kemeja lengan pendek yang dikancing sampai kancing
paling atas dengan jeans hitam dengan banyak saku di sana sini.
Bocah
yang kira-kira duduk di kelas enam itu melangkah ke arahku, lalu berbisik
sangat perlahan, “Om, kau datang lagi,” sahutnya, wajahnya terlihat dua tingkat
lebih gembira.
“Kau
masih mengingatku?”
“Bagaimana
bisa lupa?”
Untuk
dua detik berikutnya, aku hanya diam. Berusaha
mencerna keadaan, tapi tak bisa. Aku bisa merasakan sesuatu yang paling
kutakutkan akan terjadi di sini. Ya, aku terkadang dapat melihat seseorang
menjelang mautnya. Tak bisa kujelaskan dengan kata-kata bagaimana, hanya
seperti ini, seperti sekarang yang kurasakan.
“Siapa
di dalam ruangan itu?” tangaku menunjuk ke arah beberapa orang berkerumun di
depan pintunya sehingga tak dapat kulihat nomor ruangannya.
Eki
diam. Diam. Kemudian dan seterusnya diam.
Kakiku
melangkah maju, sama ringannya dengan tadi. Sama, saat ini pun aku bisa
menembus kerumunan orang ini dan bahkan menembus pintu—kali ini bisa kulihat
jelas nomor ruangannya:107. Di dalam ada seorang wanita dengan rambut yang
memutih di pangkalnya terisak sambil memegangi tangan lelaki yang nafasnya
tersengal berada di atas ranjang. Dari tangannya dapat kuterka, mereka
sama-sama renta. Yang perempuan tak dapat kulihat wajahnya, hanya punggungnya
yang sedikit bungkuk. Yang laki-laki dengan botak yang lebih parah dari dokter
di luar, matanya kosong, nafasnya tersengal seperti pada keadaan bernafas dan
tak bernafas. Tabung oksigen yang catnya sudah terkelupas tampak ada di
sampingnya gagah bertolak belakang dengan lemah tubuhnya.
Perasaan
ini semakin kuat. Yang tak bisa kujelaskan apa, bagaimana, dan mengapa. Perasaan
saat melihat seseorang dijemput ajal.
“Tunggu...,”
kataku, tapi tak seorang pun mendengar, sepertinya aku mengenali wajahnya.
...
Tiba-tiba aku sudah berada di ruang kerjaku lagi
dengan membawa pusing yang dua kali lipat lebih hebat daripada setelah aku
kembali dari kilasan yang pertama. Aku memijit keningku yang menjadi pusat
pusingku sedikit. Lalu mencoba menerka apa yang baru saja terjadi.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tak terjadi
apa-apa. Kemudian pada detik ke empat semuanya mulai terang. Kabut-kabut yang
menghalangi intuisiku menyusun blok-blok yang berkeping-keping ini mulai hilang.
Sekonyong-konyong blok-blok yang berserakan itu terbangun dengan sendirinya,
menjelaskan padaku dengan cara yang tidak bisa kujelaskan.
Dan dengan tanpa prediksi...
“Aku
Andaka Rizki Pramadya. Umurku sekarang 27 tahun. Aku mengingat nama masa
kecilku adalah Eki. Keluarga bahagia, sangat bahagia. Ramadhan menjadi momen
paling kutunggu ketika kecil. Aku suka dimarahi karena nakal dan tak penurut. Aku
suka bermain bola sepak di dalam rumah. Aku sempat memecahkan lampu beberapa
kali dan menjatuhkan jam dinding antik di ruang depan satu kali. Aku sering
kali dipaksa untuk sholat dan mengaji. Masa kecilku terasa bahagia dengan
setiap malam menyaksikan wayang. Belajar tata cara sholat dan membaca tajwid yang benar. Ketika pulang
sekolah, aku sangat girang jika dijemput dengan sepeda angin yang punya karat
di sana sini. Masa-masa itu tak terlalu lama kurasakan, aku ingat, pada akhir
kelas sekolah dasar, aku mengenal satu kosakata yang sampai sekarang selalu
membuat bulu romaku berdiri. Kanker. Yang sampai pada saat Google dan Apple
saling berebut pasar teknologi belum ditemukan obat yang valid. Kanker yang
merebut semua kenangan manis masa kecilku, kanker juga yang merenggut satu
perasaan di mana aku adalah anak paling beruntung di seluruh semesta. Kanker juga
telah memisahkanku secara paksa, memisahkan dimensiku saat ini dengan Yang
Kung. Yang Kung meninggal tujuh hari tepat sebelum Idul Fitri, momen Ramadhan selalu
mengingatkanku pada Yang Kung. Terkadang sampai sedewasa ini, membenci kado
spesial dari Tuhan untuk ini. Kadang aku ingin merasa normal. Seperti mereka
yang senang tak dapat melihat kematian beberapa orang, melihat juga mendengar
apa yang seharusnya tidak dilihat dan didengar orang normal. Tidak dapat
melihat isi kepala orang lain, tidak bisa menebak masa lalu juga kadang kala
melihat bagaimana masa depannya. Aku sesekali menyesal, apakah Tuhan pernah
salah menjadikanku seorang... Indigo.”
Untuk lima belas bahkan setengah jam berikutnya
kubiarkan air mata di pipiku deras mengalir turun. Aku selalu bersyukur dan tak
henti bersyukur dengan cara Tuhan membawaku kembali ke masa-masa indahku walau
hanya sekilas.
MALAM PERTAMA RAMADHAN, LEWAT TENGAH MALAM, MEMANDANG SATU FOTOMU DENGAN BAJU ANGKATAN KEBANGGANMU. KUSAMPAIKAN RINDU YANG MEMISAHKAN KITA LEBIH DARI ENAM TAHUN. MBAH KUNG DASLIM. DENGAN PENUH RASA RINDU, EKI.
Bagus banget mas, kadang aku pun selalu merindukan masa lalu. Ya, walau sepenuhnya cuma sekedar mengingat tapi itu seringkali bikin bahagia :))
BalasHapusYang Kung pasti sudah lebih bahagia disana :))
Ada beberapa bagian masa lalu karena terlalu indah ada harga lebih yang harus dibayar misalnya air mata. Makanya aku sering tak suka mengingat-ingat masa lalu. Iya mba pasti sudah bahagia ;))
HapusIni cuma fiksi kan? Kamu nggak beneran indigo kan? :P
BalasHapusCuz, I'm actually an indigo, too. Serious.
HapusSoal yang indigonya fiksi bang.
HapusTapi gue indigo itu serius, Dak. =D
HapusHahaha
Yah, kirain lu juga indigo. :P
Waaah seru dong bang^^
HapusKereeenn.. Tulisan lo emang khas banget, lo membunuh rindu gw akan fiksi2 lo yg dark. Gabungan realita dan fiksi di postingan ini mantep bgt, Semoga Kung Daslim tenang di sana ya, Amin. :)
BalasHapusSetelah setahun lebih bener-bener vakum nulis, kagok juga buat nulis setelah kubaca lagi ada beberapa frasa yang kurang cocok terus kalimatnya juga terlalu panjang2 kurang jeda. Btw thanks bang..... iya dan aku berharap demikian, pasti sudah tenang di alam penantian :')
Hapus