Ketika dua langkah kakiku
melangkah maju ke ubin-ubin yang sudah tak bisa lagi kukatakan retak, jalan air
pun sudah menggenang di sudut-sudut yang punya celah. Rasanya menengadah begitu
berat, asbes satu dua sisi sudah terlepas dari pegangannya.
Sungguh manusia apa aku ini? Batinku retak.
Rumahku sudah lebih dari satu
tahun tak pernah kusambangi, yang ada hanya memori-memori tentang 'masa
jaya'-nya yang menggantung bersama dengan rangka kayu yang tak berkekuatan. Mungkin
cukup baginya satu lalat hinggap, lalu hancur ke bawah hingga kepingannya
selembut debu.
Selangkah lagi kakiku maju,
tapi batinku menyuruhku tetap diam di tempatku semula, bahkan satu sisi diriku
menyuruhku keluar dan meninggalkannya seperti yang rekaman dalam neuronku sejak
terakhir kali aku mencium bau cat yang masih terasa baru.
Aku masih ingat, ketika itu
tengah malam, saat Mei ingin mengganti dirinya dari empat ke lima, aku
meletakkan sebingkai fiksi mini sebelum kepergianku ke ranah yang benar-benar
baru. Miss Marple dan Sekelumit Kisah dari Whitby. Kala itu, mentari
seperti berada sejengkal tangan, dan seraya langit biru berbinar tepat di
depan. Putih abu-abu. Aku ingat betul, saat itu aku belum melepaskan titel
kebanggaan, ya, Sekolah Menengah Atas. Rasanya memutar kembali memori SMA
seperti mengiris lagi luka yang sudah menghitam menjadi lapisan kulit mati
dengan pisau berkarat, lalu luka menganga dengan darah yang mengucur deras itu
disiram dengan air lemon dan garam. Ah, kau bisa bayangkan sendiri tanpa perlu
kujelaskan di sini. Sudahlah, bagi kau yang telah melalui ‘masa terindah dalam
sekolah’, kau akan tahu bagaimana rasanya.
Sudah, terlalu lama berbalik
melihat masa lalu tidak baik, karena sesungguhnya hal-hal indah bak tanah dan
pasir hisap yang membuat kita berhenti pada satu fase hanya ada di masa lalu. Masa
depan memang tak selalu indah, tetapi dialah yang membuat kita tahu bagaimana
hidup melepaskan topengnya satu persatu—kulihat jelas topeng yang dulu selalu tersenyum
kini merengut dengan kerut dan parut yang terasa kasar kusentuh.
“Selamat datang, aku pulang.”
Kusalamkan pada dinding dengan
cat warna biru langit yang terkelupas karena panas dan hujan. Sudah lama aku
ingin merawatmu lagi, menjadi seperti dulu lagi, saat mimpi terasa mudah
digapai, saat kehidupan masih tersenyum melihatku merancang satu pentas drama
kolosal tanpa suara dengan epik. Karena hanya dengan menulislah bisa kurasakan
bagaimana rasanya hidup dan mati dalam satu waktu yang hampir bersamaan.
Hai pembaca, sudah satu tahun
lebih terhitung dari aku menulis fiksi mini terakhir. Hai, rindu dengan setitik
elegi dan cerita seram di rak-rakmu? Bagaimana aku tak merasa serindu ini
menulis, bahkan sudah setahun ini aku benar-benar berhenti menulis, hidupku
berubah seratus delapan puluh, atau bahkan berada pada titik cosinus positif. Satu
tahun ini aku melepas seragam dan menjadi mahasiswa. Ya, bukan sembarang
mahasiswa yang bisa pukul sepuluh bisa ngopi di tongkrongan dekat kampus. Aku merasa
benar-benar jadi mahasiswa. Mahasiswa yang bukan menjelang UAS saja tidak bisa
merasakan tidur. Tidur kurang dari empat jam mungkin sudah jadi langganan,
bahkan akhir-akhir ini aku sudah menyukai kopi hitam yang diseruput perlahan
agar kuat hingga fajar. Ya. Apakah kalian bisa tebak? Aku mahasiswa teknik, ya
teknik arsitektur. Cukup berat. Dan pilihan yang berbeda dengan apa yang telah
ada dalam darahku. Menulis. Kehidupanku yang sekarang adalah bersentuhan dengan
debu kayu dari pensil warna, penggaris presisi dengan bidang yang sudah tak
rata, dan tak jarang pula tangan ini benar-benar bisa menyesap rasanya darah,
tergores silet karena harus mengerjakan maket yang njelimet. Tapi, setelah berbulan-bulan mengumpulkan kekuatan untuk
dapat merawat blog ini lagi, akhirnya aku di sini, aku berdiri di tempat di
mana aku bisa merasa hidup sekaligus merasa mati. Menulis lagi.
Dan
untuk yang pertama, kuucapkan.
AKU
PULANG.
Perkenalkan, maket Tugas Besar Perancangan Arsitektur 2, Twistwood Mini Cafe. Salam |
Kereen, buat cerita misteri lagi yaaaa!!! :D
BalasHapus