Kemarin di Whitby seorang lagi
hilang. Tercatat lima orang hilang dalam setahun terakhir. Opsir sudah melacak
tapi hasilnya masih ganjil. Semua hilang tanpa jejak yang bisa dilacak. Polisi
terus mencari...
--Headline
Harian Whitby
Setelah
menulis catatan hariannya, Rudolf pergi tidur dalam diam. Ia tinggal sendirian
di sudut kota. Tepat di depan dermaga besar yang setiap pagi hingga malam
selalu sibuk dengan aktivitas bongkar muat. Tiga puluh menit sejak ia menarik
selimut sampai ke dadanya, Rudolf masih terjaga. Matanya memang terpejam,
tetapi jantungnya masih memompa kenjang juga otaknya masih aktif
meloncat-loncatkan neuron.
Lalu apakah hari ini tuanku Count
akan datang? pikirnya dalam hati.
Malam
yang panjang bagi Rudolf, karena hingga lewat tengah malam tubuhnya tidak
sedikitpun berkompromi untuk tidur. Di dalam otaknya hanya ada tuannya yang
datang bersama kabut lewat lubang pintu hingga kemudian membuatnya tidur dalam
keabadian.
Rudolf
masih terjaga ketika fajar mulai menyingsing. Di luar sudah terdengar suara
kereta yang dipacu terburu-buru di pagi buta. Suara peluit, suara rantai kapal
yang ditarik dan bergesekan. Suara pagi di sekitar dermaga yang kusuka, kata
Rudolf. Biasanya saat pagi hari seperti ini Miss Marple selalu lewat di depan
rumahnya pukul delapan lewat lima belas. Miss Marple adalah tetangganya—tetangga
satu-satunya yang masih bersikap ramah terhadap Rudolf. Rudolf dikenal sangat
pendiam dan kurang bersosialisasi. Terlebih saat malam bulan purnama, bahkan
saat pagi ia tak pernah mau keluar. Menurut Miss Marple yang baik hati itu,
Rudolf hanya terjebak dalam kesendirian yang begitu lama sehingga ia tak
memiliki seorang teman untuk sekedar santai minum teh di sore hari.
“Pagi
R,” sapa Miss Marple seperti biasa. Wanita setengah abad lebih itu hebat
sekali, ia tahu menghadapi sikap dingin Rudolf.
Rudolf
hanya tersenyum kecut. Tak berkata.
Miss
Marple menyunggingkan senyum di balik wajahnya yang renta dan mendekat. “Tidakkah
kau lebih baik menyapu saja, lihatlah daun-daun kering tak baik untuk kesehatan
paru-paru,” lanjutnya sembari mengambil sapu di sudut beranda.
Miss
Marple mulai menyapu.
“Tidak
usah repot-repot Ma’am, aku bisa melakukannya. Tapi tak sepagi ini saja,” jawab
Rudolf.
Miss
Marple heran, jarang sekali Rudolf seramah itu ke orang. Biasanya, jika ada
yang mengusik beranda dan mengatur-atur pekerjaannya di pagi hari ia langsung
mengeluarkan sumpah serapah dan kata-kata kotor dan mengusirnya.
“Tak
apalah untuk wanita tua seperti aku ini pekerjaan biasa, terlebih kau mirip
sekali dengan Arnold, anakku.”
“Arnold?
Aku tak pernah mendengar pemuda bernama Arnold tinggal bersamamu.”
“Pantas
saja kau tak pernah mendengar R, untuk pergi ke luar berandamu saja kau enggan.”
Rudolf
mengangguk. Masih dengan ekspresi yang datar dan dingin.
“Lalu,
kenapa kau merindukannya Ma’am? Temui saja dia sekarang di rumahmu dan
berhentilah menyapu rumah orang seperti ini. Hidup tak serumit mengatur lalu
lintas kapal dan bongkar muat di sana, benar?” tandas Rudolf kecut sambil
menunjuk ke arah kapal kargo bertuliskan “Randall Co.” yang sedang menurunkan
beberapa kontainer berwarna biru bergantian.
“Sayangku
R. Hidup memang mudah bagimu. Tapi bagiku, kematian tak semudah menurunkan
kontainer-kontainer besar dari kapal ke tengah pelabuhan. Sudah dua puluh tahun
Arnold pergi meninggalkanku. Tapi selama itu pula aku masih belum paham akan
relikiu kematian.”
Miss
Marple diam sejenak, beberapa kali air matanya nyaris jatuh tapi berhasil ia
tangkap dengan sapu tangan merah muda yang selalu ia letakkan di dalam saku
baju hangatnya.
“Maafkan
aku.”
“Tak
apa. Kematian sudah menjadi sahabatku.”
“Lalu,
setelah Arnold tiada, kau tetap tinggal sendirian Ma’am?”
“Tidak.
Aku hanya berteman dengan kanker. Ia selalu mengingatkan ke mana kakiku akan
melangkah di pagi hari sesaat sebelum aku ke pasar dan menemui terduduk di depan
beranda, R.”
“Maafkan
kebodohanku lagi, Ma’am.”
“Tak
apa, sekali lagi.”
Percakapan
mereka berhenti. Rudolf hanya bisa berdiri tertegun dan mematung di depan Miss
Marple yang sedang mengumpulkan daun kering ke tengah beranda.
Bukankah ia adalah wanita yang
sangat baik. Kenapa Tuhan tak adil terhadap hidupnya; anaknya, bahkan dirinya
sendiri.
Miss
Marple pamit pulang setelah menurunkan setumpuk daun kering terakhir ke dalam
bak sampah di depan. Ia melambaikan tangan dan hilang di ujung belokan bersama
kematian yang ia sebut sebagai sahabatnya.
*
Polisi menutup kasus hilangnya lima
orang sebagai pembunuhan masal karena masalah ekonomi yang kian menjerat
Inggris karena krisis moneter. Polisi menghimbau agar warga bisa melupakan
tentang desas-desus penghisap darah yang mencuat.
--Headline,
Harian Whitby.
Malam,
tujuh belas Januari, saat purnama pertama.
Inilah saatnya. Tuanku akan datang.
Membawa keabadian.
Tepat
pukul dua belas. Jam kota berdentang tepat dua belas kali. Kaca-kaca di rumah
Rudolf bergetar karena benturan kapal yang baru saja bersandar di dermaga. Deru
ombak. Angin malam yang masuk melalui celah di atap membuat suasana kamar
Rudolf lebih mencekam.
Lima
orang sudah cukup membuat Tuannya hidup lebih bugar. Ia tak pernah serampangan
dalam bekerja dan selalu pemilih terhadap korban-korbannya. Ia dijanjikan
menjadi pengikut abadi Tuannya ketika berhasil memberikan lima orang terakhir
untuk Tuannya. Dan ia berhasil.
Beberapa
menit lagi pasti Tuannya datang.
Benar
saja. Kamarnya berubah semakin gelap dan dingin. Semakin dingin. Lalu lewat
lubang kunci sedikit demi sedikit kabut berwarna keunguan masuk ke dalam
kamarnya.
Tuanku datang.
Kabut
itu semakin lebar dan besar, lalu dari kabut itu muncul sebuah sosok tinggi
besar dan tegap dengan jubah hitam menjuntai ke lantai. Senyumannya menyeringai.
Terlihat berjajar gigi-gigi yang rata dan di ujung-ujung taringnya memanjang
sampai ke bibirnya yang masih basah karena darah. Kulitnya seputih salju,
pucat. Matanya yang berwarna merah bercahaya itu menatap Rudolf tajam.
“Kau
berhasil anakku. Tugasmu sudah selesai. Akan kuangkat kau dari kehidupan yang
membuatmu tersiksa ini.”
“Tuanku
Count yang maha mengampuni, ampuni aku yang sangat lancang ini. Bolehkah
setelah kau merubahku jadi pengikutmu yang abadi aku mengubah seseorang lagi
untuk menemaniku?”
“Terserah,
itu sudah menjadi kebijakan tentang apa yang kau pilih, sebagai kawan atau
korban.”
“Baiklah.”
“Kau
siap?” kata Count dengan suara beratnya.
Rudolf
mengangguk.
Count
mendekat—mendekati leher Rudolf yang hangat dan mengalirkan darah segar—menyeringai
sebentar, lalu membuka mulut dan menancapkan kedua taringnya yang panjang tepat
di leher. Menghisap berpuluh-puluh tetes darah dari sana sampai Rudolf terduduk lesu karenanya.
“Sekarang
kau sudah jadi pengikutku. Bergabung dengan keabadian dan bersahabatlah
dengannya. Ia membawamu ke alam yang sangat berbeda dengan alammu sebelumnya. Pahamilah
mereka. Sekarang pergilah, kau sudah jadi sepertiku. Maka bertingkahlah juga
seperti diriku.”
Rudolf
mengangguk, lalu ia pergi dengan cara yang sama dengan Count saat pertama kali
masuk ke dalam kamarnya.
Aku akan ke sana, pikir Rudolf dalam benaknya.
Ia
menemukannya tertidur pulas di ranjang yang besinya sudah banyak berkarat. Dengan
memakai baju tidur hangatnya, Rudolf melihat sesosok tubuh yang sedang sekarat
didekap selimut dalam dinginnya Whitby di musim gugur. Ia mendekatinya. Dan merubahnya...
Sekarang kau bebas Miss Marple. Ke mana
pun kau mau. Kau tak perlu lagi merasakan sakit karena kanker yang menggerogoti
tubuhmu. Pergilah bebas dan kau juga bebas dari relikiu kematian yang kau
eluh-eluhkan. Kau bisa bahagia, hidup selamanya di sini, bersamaku. Walau aku
bukan Arnold anakmu, biarkanlah aku jadi Arnold kedua yang setidaknya bisa
menemani setiap tidurmu di saat pagi menyongsong.
Awalnya penasaran karena mengira cerita detektif, Miss Marple jadi ingat nama salah satu tokohnya Agatha Christie :3
BalasHapusIMAJINASIMU LUAR BIASA!!!! SUMPAH!!!!
BalasHapusSemacam mmm... gak tau deh.. hehe
BalasHapuswah hebat deh salut
BalasHapusOAO awesome... as always kak Daka :D
BalasHapus