BERDASARKAN CERITA NYATA, TITIPAN SEORANG KAWAN.
Kau
tahu di dunia ini ada hal paling indah yang pernah diciptakan oleh Tuhan.
Mereka dapat kau lihat, mungkin juga kau dapat rasakan. Bekas hujan di atas
tanah yang menggenang, ditambah terpaan sinar matahari menjelang siang, jika kau
beruntung kau dapat bercermin di atasnya.
Detik
jam seperti tak berjalan di angka sembilan. Tidak ada yang dapat kulakukan hari
ini, tidak sekolah karena ini adalah hari-hari pasca ujian dan menunggu
kelulusan. Di ruang tamuku hanya ada beberapa tumpuk novel dan gadget yang
sedari tadi klak dan klik.
Di
ambang pintu aku melihat bayangan diriku sendiri di atas kaca yang memantulkan
pelangi sehabis hujan. Samar kulihat di sana—di sampingku—ada sosok yang
kukenal, ya dia. Dia... maafkan aku. Hujan turun lagi dan perlahan-lahan siluet
samar yang sangat kukenal itu menghilang di balik gerimis.
Jujur, aku merindukanmu. Jujur,
sesungguhnya aku tak pernah sekalipun menyalahkanmu atas semua ini. Kau sudah
sangat baik, sampai detik ini tak ada niatan di dalam hatiku untuk sekalipun
membencimu.
*
Aku
tak ingat sejak kapan aku mulai diam-diam memikirkannya. Di sudut mataku selalu
saja memberikan kesempatan untukku melihatnya walau jarak cukup jauh
memisahkanku dengannya. Mungkin menurut kebanyakan orang ia tak spesial, bahkan
ia tak setampan Romeo yang digambarkan Shakespears. Siapa peduli, yang
terpenting ialah ia dapat masuk ke dalam hatiku, mencurinya, perlahan
menjaganya walau secara tak langsung.
Pernah satu waktu, kami ada di satu
kelompok yang sama. Kuingat betul, waktu itu Fisika. Ia juga bukan salah satu
yang terpintar di kelas. Tetapi satu yang kutahu, ia terlalu pintar untuk terus
mengisi neuron-neuron di otakku, melompat ke sana dan kembali begitu lincahnya
hingga jejal penuh dengannya di dalam otakku ini.
“Belum pulang?” sesosok suara
menyapaku dari belakang saat sekolah sudah mulai ditinggalkan penghuninya.
Aku melihat jam tangan ramping di
tangan kiriku untuk mengalihkan pandanganku dari matanya yang tajam itu. “Um...
iya nih.”
Tanpa kusangka ia mengambil duduk di
sampingku, kukira ia akan pulang begitu saja setelah menanyakan hal basa-basi
itu kepadaku.
“Aku juga malas pulang, sore juga
belum terlalu petang tapi hari ini entah kenapa sekolah begitu cepat sepi,
bener nggak?” tanyanya sembari memainkan sapu tangan cokelat yang selalu ia
bawa.
Aku mengangguk. “Benar, mungkin
karena gerimis juga belum mau berhenti membasahi tanah sekolah yang mulai becek
ini.”
Ia menengadah, “Benar juga,”
katanya, “kau tahu ada satu hal menahanku begitu lama di sekolah sekarang?”
Aku tak menjawab dengan kata-kata,
hanya menggeleng dan memainkan ujung sepatuku dengan sepatuku yang lain. Dari
ruang pandangku yang paling sempit aku melihat senyum simpulnya merekah, tak
terlalu lebar tapi dapat membuat hatiku ini berdebar kencang.
“Yuk,” timpalnya singkat, lalu ia
menarik lembut tangan kiriku. Mungkin lebih tepat bila kusebut dengan
mengenggam. Ya lelaki ini mengenggam tanganku, Tuhan, hatiku mulai berdebar tak
menentu. Dalam mataku semuanya yang terlalu oranye karena senja perlahan mulai
turun ke haribaan.
Ia mengajakku ke depan kelas dan
kemudian ia melepaskan genggaman tangannya. Rasanya seperti kerongkonganku
ditarik hingga yang kurasakan seperti kosong dan hampa.
“Lihat. Fokuskan pandanganmu. Lihat
gerimis itu begitu seirama ketika jatuh.”
Tanpa pikir panjang aku mengikuti
saja instruksinya. Benar, gerimis yang kuperhatikan selalu turun seirama,
seperti mereka tak pernah bertolak belakang padahal mereka semua tahu siklus
hujan setelah ia jatuh ke tanah mereka tidak akan bisa menjadi air yang turun
seirama lagi. Mereka seakan tak peduli, ya yang mereka pedulikan hanya turun
saat itu juga bersama-sama.
“Hei, mengapa kau memejamkan mata?”
tanyaku heran kepada dia yang tiba-tiba memejamkan mata dan menghela nafas
panjang.
Sungguh spesial, lelaki ini tidak menjawab
ia hanya meletakkan telunjuk kanannya di depan mulutnya yang mengatup juga
tangan yang sebelah didekatkan di telinganya yang berlawanan. Ya aku mengerti
dan aku hanya tersenyum lalu mengikuti apa yang ia lakukan. Cukup lama kami
begitu, lima belas menit jika dihitung mungkin bisa lebih. Selama itu di antara
kami tidak ada yang saling menatap, mata kami saling terpejam. Tidak ada yang
memulai kata, kami membeku dikepung hujan yang semakin deras. Hingga...
“Apa yang kau rasakan?” ia membuka
dialog baru yang memecah keheningan.
“Damai.”
“Damai dan tenang, bukan?”
“Ya, damai dan tenang.”
Percakapan berhenti kembali.
Membeku lagi, sampai satu saat
kurasa sentuhan hangat menyentuh tanganku lembut. Rasa itu kembali datang, rasa
seperti kulihat semuanya berwarna keoranyean karena senja. Debar juga hadir,
entah kenapa yang kali ini aku lemas dibuatnya.
“Sudah. Besok mungkin juga hadir
lagi di sini, sudah terlalu malam, mari kuantar pulang saja.”
Aku tak tahu harus menerima atau
bahkan menolaknya. Yang kulakukan hanya mengikuti kemana genggaman tangannya
membawa tanganku pergi. Satu yang kuharapkan yang tidak ia lihat kala itu;
pipiku yang memerah karena tersipu.
“Maaf, maukah kau memelukku? Bukan,
bukan karena aku mesum, jika tidak kau lakukan bisa-bisa seluruh tubuhmu basah
kuyup karena hujan.”
Tak perlu berkata lagi, aku
melakukan apa yang ia perintahkan. Aku juga tak mau sakit karena hujan ini.
Kupeluk saja.
Hangat. Menenangkan.
*
Setelah saat itu kami mulai dekat,
dekat sekali. Ada fakta baru yang kuketahui darinya setelah sedekat ini; ia
romantis. Pernah kala itu, tiba-tiba di atas mejaku ada satu kaset bertuliskan
“Everything’s you” di atasnya. Saat
sampai di rumah aku menyetelnya dan yang kudengar...
I have died
everyday waiting for you
Darling don't
be afraid I have loved you
For a thousand
years
I'll love you
for a thousand more
And all along
I believed I would find you
Time has
brought your heart to me
I have loved
you for a thousand years
I'll love you
for a thousand more
Suaranya begitu empuk dengan ambitus
di bas yang ia miliki membuatnya semakin terlihat misterius. Aku tak mungkin
salah mengenali suara ini, ya pasti ini adalah suaranya diringi denting gitar selembut
rumput oranye di savana yang luas. Apa yang kurasakan ini, apa aku
mencintainya?
Hari-hari berikutnya kedekatan kami
semakin tampak di kelas, bahkan teman-temanku sudah mendukung seratus persen
untuk bersama dia dan... meresmikannya. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu,
sebulan kutunggu, sikap romantisnya tak kulihat berani mengungkapkan apa yang
ia rasakan padaku.
Perlahan-lahan entah mengapa sikapku
mulai dingin terhadapnya, aku merasa diriku yang biasa kutunjukkan di depannya
tiba-tiba lenyap. Aku menjadi statis dan sinis terhadapnya.
Terkadang digantungkan lebih
menyakitkan daripada dicintai orang yang tak romantis tapi berani untuk
mengungkapkan. Digantung seperti kau merawat sepot mawar merah dan ia tidak
berduri, tetapi ketika kau ingin memetik bunganya, durinya tiba-tiba muncul dan
menusuk jemarinya hingga berdarah, berdarah hebat. Ya seperti itu. Mungkin itu
yang membuatku jadi seperti ini.
Duar!
Halilintar menyambar sangat keras
memaksaku keluar dari segi-segi ingatanku bersamanya setahun yang lalu. Saat
ini yang kurasakan hanya sakit, seperti ada pasak kayu besar menusuk dada
layaknya dulu orang Transylvania membunuh Count Dracula hingga ia bisa mati
dalam damai.
Jujur sakit ini tak sebesar rasa
bersalahku.
Sakit ini tak ada apanya dengan
keinginanku untuk minta maaf padanya, semuanya sudah terlalu dalam. Aku melihat
jurang, tapi ujungnya hanya kabut hitam tak berdasar, mungkin bisa kugambarkan
seperti itu. Aku tak ingin di ujung pertemuanku ini dengannya mungkin aku
terus-menerus membawa perasaan bersalah di dalam hidupku. Jika Tuhan
memberikanku satu kesempatan lagi, aku tak ingin mengulan kembali semuanya. Aku
hanya ingin Tuhan memberikanku dengannya lima menit. Ya lima menit untuk
mengucapkan maaf untuk semuanya, hanya maaf. Aku tak lagi berharap ia bisa
menerimaku lagi, menerima hubungan yang dulu pernah hancur. Aku hanya ingin
Tuhan memberikan ia hati yang besar dan lima menit terakhir untuk memaafkan.
jadi ini perasaan sesaat karena tak adalagi rasa yang sama?
BalasHapushuhu
endingnya gimana?
nggak musuhan kan ya?
hehe
forgiven and forgotten ya
BalasHapus*tears*
BalasHapusi kinda understand what she feels..
bang, yours are still touching, anytime i read it.. (^^)b
daebak!!
BalasHapus