"Di dimensi ini aku berpikir,
tentang kemungkinan ataupun pilihan.
Dan tentang apapun yang menjadi pembeda,
diantara keduanya."
—Andaka Pramadya, Penulis Pemula
Dua
puluh menit yang lalu Mady meninggalkan Lusy di ruang makan sendiri. Ia tahu,
ia harus memberikannya ruang untuk berfikir sendiri sebagai “yang terpilih” dan
ia, ia hanya seorang teman yang secara tidak sengaja ikut terseret ke dalam
misteri ini. Ini sudah terlalu jauh menurut Mady, ia sudah terlalu banyak tahu
tentang seluk beluk diary itu dan sejarah Santa Mondega, lantas dengan begitu
apakah ia tega membiarkan sahabatnya sendirian? Mady memang skeptis tapi bukan
berarti ia tidak peduli.
Di
ruang tengah jam berdentang sembilan kali, di Santa Mondega pada waktu ini
semua harus mematuhi peraturan Suster Kepala: jam tidur. Mady berhenti disana
beberapa menit, memadangi detik jam yang berputar konstan. Mempertimbangkan
sesuatu; mengajak Lusy tidur atau masih memebrikan waktu lagi untuk Lusy
berfikir.
Ia
berbalik, tekadnya bulat, mengajaknya tidur. Bukankah besok matahari masih terbit?
Setelah
beberapa langkah ia berputar seratus delapan puluh derajat langkahnya terhenti.
Mengambil posisi di sela-sela dinding yang menyiku. Bersembunyi dari bayangan
orang-orang yang melintas dan hampir melihatnya bersembunyi di celah itu.
“Gerbang
persembahan akan terbuka di malam purnama, tetapi, kita masih belum menemukan
siapa yang akan menjadi ‘yang terpilih’ untuk membukanya. Lalu, bagaimana nasib
kita?” katanya. Suara serak bagai logam yang digerus dalam parutan baja.
Lalu
lawan bicaranya, bicara mendesis, datar dan konstan, “Itu bukan campur tangan
kita sekarang, bukankah pemimpin telah bersabda diatas altarnya? Semua ini
mutlak tanpa kegagalan, setidaknya itu yang ia janjikan kepada kita, khususnya
bangsa kita?”
Mady
tercekat di dalam celah. Tanpa suara. Kakinya mengubi diatas karpet merah yang
selalu ia temui di sepanjang sudut Santa Mondega. Matanya tak berani menatap
lurus seratus delapan puluh derajat dengan kepalanya. Menunduk, dan hanya
mendengarkan.
Gerbang persembahan? Malam purnama? “Yang
terpilih”? Pemimpin? Altar? Sungguh, apa yang mereka ucapkan, lebih-lebih siapa
mereka? Hantu? C’mon, hantu? Untuk seorang skeptis seperti aku memercayai hantu
itu masih tetap eksis, itu kemustahilan. Walaupun, kemarin bersama Lusy aku
melihat bayangan refleksi diriku dan ia ditambah makhluk hijau berkampak. Pemikiran
modernku tak mencerna itu sebagai makanan matang, itu hanya data mentah. Orang awam
menyebutnya ilusi, pikirnya panjang.
Percakapan
terhenti.
Beberapa
menit membeku, lalu suara ketuk-ketuk seirama hak tinggi datang mendekat.
“Mady?”
panggilnya, suaranya sangat dikenal Mady.
Mady
bisu, hanya mendongak memastikan suara siapa yang memanggil namanya. Tepat, Suster Daisy.
“Ini
sudah lewat tengah malam, lalu hal menarik apa yang membawamu di sudut dan
menunduk seperti ini?” tanyanya lagi.
“Bukan
apa-apa, aku hanya tersesat. Belakangan ini memoriku acak dan seringkali lupa
liuk-liku Santa Mondega. Atau aku yang terlalu tak memperdulikan jalan mana
yang kulewati sebelumnya. Entahlah Suster, aku pusing.” Semoga Suster ini tak melihat kebohonganku.
Percakapan
itu terhenti sebentar, tampaknya Suster Daisy berfikir. “Baiklah, mari kembali
ke kamarmu bersamaku. Kau tampak tak sesehat biasanya.”
Aku mengangguk
mengiyakan.
*****
Aneh,
bilik sebelah—tepatnya kamar Lusy—tak memainkan irama gaduh. Mady masih belum
bisa tidur. Suster Daisy mungkin sudah melayang dengan musik dan hal-hal lain
yang dia sukai. Mady tidak, ia terjaga, detik ini, pukul satu lewat dua puluh
lima.
Dari
dalam kamarnya ada sebuah celah berbentuk lingkaran. Tempat di mana ia akan
tahu seluruh hal yang dilakukan Lusy. Tak heran soal diary itu, ia tahu banyak.
Lubang itu tak sebegitu besar, tetapi cukup untuk membuat Mady ikut membaca
diary Clara saat Lusy membacanya. Letak lubang itu tepat di atas tempat tidur
Lusy yang baru-baru ini berkelambu lavender tipis.
Seingatnya,
Lusy selalu ada di jam-jam seperti ini untuk menyelesaikan diary menyebalkan
itu. Kali ini beda, ia tak ada. Lusy lenyap dari kebiasaannya. Tetapi, diary
itu masih di sana, terbuka di bab enam. Berisi banyak coretan dan tinta
berbeda. Merah, merah marun, lebih mirip darah yang dimasukkan ke dalam pulpen.
Akibat
kelambu lavender bodoh yang dipasang Lusy tempo hari, ia tak bisa membaca diary
terbuka yang dimainkan angin itu secara gamblang. Matanya beberapa kali
menyipit untuk mendapatkan fokus pas membaca huruf demi huruf yang ditulis
dengan tinta-mirip-darah itu.
Tapi tunggu ini belum selesai...
Hanya
tulisan itu yang tampak cukup besar dan cukup baik ditangkap indera penglihatan
Mady di tengah gelap enam puluh persen. Selebihnya berisi tanda panah; mungkin
menginstruksikan untuk membuka lembar berikutnya.
Angin
memang bersahabat dengannya, tiup-siul angin dari jendela Lusy yang tak pernah
tertutup membuat lembaran diary itu terbuka satu persatu. Lembar ini—spesifiknya
dua lembar ini—tampak tak terlalu banyak tulisan. Alih-alih tulisan Clara
dengan tinta-mirip-darah di lembar ini tak serapih biasanya. Gambar-gambar
sketsa acak-acakan menampakkan kerancuan yang berkali-kali lipat. Mady makin
tak bisa membacanya.
Oh shit!
Dari
lubangnya, Mady berjingkat lima kali menuju pintu yang berderat. Melongokkan kepalanya
terlebih dulu, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan semua orang sudah menyelam
bersama mimpi masing-masing.
Lantai-lantai
kayu juga mendukungnya kali ini; tak ada yang berdecit di setiap langkah Mady
yang selalu berat dan ugal-ugalan. Di depan pintu kamar Lusy, Mady membeku
beberapa saat, menghela napas dan kemudian membuka gagang bundar ke kiri. Klik!
Pintunya
berderat lebih keras dari pada milik Mady.
Matanya
mengatup setengah, kini posenya lebih mirip
sailormoon yang akan melakukan aksinya di tengah kerumunan penjahat. Melangkah
mendekat menuju kasur Lusy yang berantakan. Aneh, tak seperti biasa. Diary Clara
diambilnya dari atas kasur berkelambu menganggu itu dan ia menemukan secarik
kertas yang dilipat dua kali menjadi segiempat.
Mady
mulai membaca.
Mungkin... untuk Mady.
Halo, sebelum kau membaca surat ini, aku ingin kau tahu sesuatu hal. Banyak hal yang belum kuselesaikan dari Diary Clara. Dan, saat kau membacanya sekarang, aku mungkin tak berada di mana-mana. Tepat saat aku menulis ini, aku mendengar riuh suara aneh dari luar kamar. Aku tak mau menerka, tetapi suara itu berhenti di depan kamar ini. Aku takut...
Bab enam, aku melihat beberapa gambar-gambar yang digambar entah-oleh-siapa. Gambar dengan tinta darah. Ya, benar darah. Kau bisa merasakan anyir dan amisnya yang masih tercium dari perkamen kertasnya. Di lembar ini hanya ada beberapa potong kata yang tak selesai, selebihnya gambar acak dan awut-awutan.
Maaf... maaf untuk semua usahaku yang tak selesai.
Jika kau menemukan surat ini, mungkin aku ada di lorong rahasia di Santa Mondega. Dan mungkin aku sudah pergi jauh ke antahberantah yang tak akan tercapai meski melewati gurun pasir sepuluh hari sepuluh malam tanpa makan dan minum. Khayal. Tetapi, perlu kutekankan. Aku mungkin, tak bisa meneruskannya bersamamu dan mungkin ini akan berhenti di sini, hidup kita juga, mungkin.
Sudahlah lupakan, Mad. Omong-omong soal panggilanku padamu: “Mad”. Tampak lucu, sudah terpaut lama aku tak memanggilmu seperti itu. Aku tahu kau selalu marah ketika aku memanggilmu seperti itu. Tapi untuk saat seperti ini, sungguh mengharukan mungkin.
Aku terlalu banyak menggunakan kosakata "mungkin" di surat ini. Bukan karena aku menyukainya, bahkan, kau tahu sendiri sejak awal aku tak pernah suka dengan sesuatu yang terlalu bersifat “mungkin” juga yang abu-abu. Aku menyukai hitam, juga putih, tapi membenci abu-abu. Aku juga tak menyukai kemungkinan dalam hidup. Aku lebih menyukai pilihan dan lebih etis menyebutnya pilihan daripada kemungkinan. Karena pilihan memiliki tujuan dan kemungkin adalah remang bagiku.
Soal diary ini, aku mulai menemukan titik terang, Mad. Dimana ia dan gadis dalam cermin. Masih ingat? Tentang lukisan Clara Harrington yang dianggap sebagian orang dua puluh tahun lalu mistis. Memiliki kekuatan magis. Mereka tak sepenuhnya salah dan tak semuanya benar. Kita bertemu lagi dengan kemungkinan Mad. Aku mulai membencinya.
Mungkin Clara dan Gadis dalam Cermin memiliki hubungan, kontak batin, lebih tepatnya. Entah apa, ia—gadis di dalam cermin dalam lukisan Clara—memiliki banyak kemiripan dengan Clara. Tetapi mereka berbeda, setidaknya berbeda bentuk. Dari milyaran sel yang disebut manusia dan milyaran titik warna yang disebut cat, bahan kimia. Manusia dan bahan kimia. Berbeda. Aku terlalu analitis, tapi ini tak sekompleks itu dijelaskan secara ilmiah.
Butuh satu pemikiran istimewa, begitulah aku menyebutnya. Dan aku tahu, kamu akan lebih mengetahui tentang pemikiran itu.
Lihat beberapa lampiran yang aku tulis di belakang surat ini: Sebuah tulisan tanganku, analisaku mengenai beberapa fragmen-kalimat-tak-rampung di bagian enam diary Clara. Dan, aku coba mendeskripsikan beberapa gambar acak di dalamnya menjadi bentuk narasi sederhana yang bisa kau mengerti. Ini belum sempurna. Bisakah kau menyempurnakannya, Mad?
Mungkin ini akan terselesaikan, mungkin tidak. Mungkin aku dan kau akan bertemu lagi setelah surat ini, mungkin tak. Ah sudahlah, semuanya serba kemungkinan...
Jangan memercayai kemungkinan, Mad. Tataplah satu, ke depan, pilihan. Bukan kemungkinan.
Selanjutnya
yang sanggup dibaca Mady hanya ceceran noktah dari tinta hitam yang terpercik
semburat di beberapa bagian kertas. Sungguh, tangannya ingin membuka lampiran
di belakang surat Lusy. Tetapi, pusat kontrol dirinya tak bekerja. Ia masih
sibuk mencerna tentang kemungkinan yang diterangkan dalam surat Lusy.
Mungkin
ia marah, mungkin juga sedih.
Mungkin
juga ia terlalu bingung untuk menjelaskan sistem kerja apa yang sanggup
memecahkan masalah emosi ini. Emosi kemungkinan, begitulah Mady menyebutnya. Hidupnya
selalu penuh dengan kemungkinan setelah ia bertemu dengan diary ini.
Berada
di antara marah dan sedih, mungkin ia tak bisa menjelaskan disebut apa perasaan
ini. Dan mungkin akhir perjumpaannya dengan Lusy. Mungkin.
udah lama ya gak ngepost. bahasanya semakin rapi nih. 4 thumbs up. kalo saran sih , coba ini naskah kamu di ajukan ke penerbit , aku lihat banyak bakat tuh yang ter-rahasiakan .
BalasHapuscongrats :D
ceritanya bagus :)
BalasHapuswah aku baru baca lagi lanjutannya nih.
BalasHapusEntahlah bang, aku selalu menunggu akhir dari imajinasimu. Cerita ini plotnya aku suka. ^_^
BalasHapusdibagian ini entah
BalasHapusada yang kurang disemua titik aku rasa
minggu pertama bulan mei klo ga salah (tanggalnya lupa)aku baca cerbung ini dari 1-13 sama sekali ga mau terlewat satu katapun, bener2 luar biasa,BAGUUUSS BAAANGEEEET *ala agnes klo lg komentar INDO IDOL*
dari 1-3 alurnya bener2 susah ditebak, tp postingan yang ini seolah mematahkan, alurnya jd mulai terbaca. kembali lagi, ada yang kurang disetiap titiknya.
tapi luar biasa banget certitanya, tetep tak tungguin cerita lanjutannya bang ^_^
SMANGAT...
semakin seru aja, ini bisa jd novelet atau malah novel, dak
BalasHapusAda yang baru ni, LOMBA BLOG dengan tema “Pemanfaatan Teknologi Digital Untuk Indonesia". Buruan ikut lombanya mulai 1 Juni 2012, cek di sini :
BalasHapushttp://www.ngawur.org/2012/ngawur-writing-contest-pemanfaatan-teknologi-digital-untuk-indonesia.html
salam gan ...
BalasHapusmenghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !
cerita yang sangat keren,,,,,
BalasHapusBener habis GDC ini tamat blog-nya kamu tutup? Sayang banget, tulisanmu bagus sih soalnya.
BalasHapusartikelnya keren,, sangat berbobot dan juga signifikan, konkrit dah pokoknya,, semoga artikelnya bermanfaat,,
BalasHapus