"Aku melihat berlian! Kamu? Pasti berbeda!" Taken with Canon EOS 550D | 18-55mm | Aquamarine Picture Style |
Beberapa hari ini rasanya langit
selalu kelabu, sinar seperti malu menembus awan-awan itu. Tanganku berusaha
mencapai kumpulan cumulunimbus di atas sana walau tak mampu meraihnya.
Sudah mulai senja, kulihat
mengintip sedikit surya keoranyean dari ufuk-ufuk. Dan rasanya sudah lama
sekali aku tertidur dan tak ingin terbangun. Ada banyak pertanyaan yang selalu
muncul di benakku saat aku lelap tiba: Apa aku benar-benar tidur? Apa aku
selalu bermimpi? Apakah hal yang selalu kuimpikan sama? Lalu... di manakah
sesungguhnya dunia nyata itu? Di tempat biasa aku bermimpi atau di alam ini?
Ah sudah. Aku banyak bicara,
membuang energi saja. Sebanyak apapun aku berbicara, takkan ada yang mau
menjawab. Bahkan untuk mendengar saja pun tak ada.
“Hai, apakah kamu batu?”
“Ya aku batu. Lalu kenapa kamu
menyapaku?”
“Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya
kagum melihatmu terseok di depan pot mawarku.”
“Tunggu dulu, ‘terseok di depan pot
mawarku’ benar? Lalu apa yang membuatmu mengagumiku? Aku hanya batu.”
“Mungkin hanya batu. Tapi dari
dirimu aku belajar.”
“Ah, naif kau. Belajar dari seorang
batu adalah pekerjaan orang yang tak pernah belajar.”
“...”
Percakapan terputus. Koneksinya berakhir.
Aku sadar lagi.
Aku baru saja mengobrol. Kau tahu,
dengan seonggok batu di depan pot mawarku. Tidakkah aku hebat? Atau gila? Haha,
siapa peduli. Yang kembali muncul di otakku adalah aku sedang bercakap dengan
batu atau dengan bagian lain dari diriku. Cukup, cukup sekali aku terlihat
bodoh di depanmu yang tak pernah menjawab bahkan mendengar setiap ocehanku.